BANDUNG, berebeja.com – Siapa yang tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer, salah satu tokoh sastra terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Ia adalah jawara sastra dalam sejarah. Pram menciptakan lebih dari 50 karya dan sudah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa. Beliau adalah sastrawan yang produktif dan telah memenangkan banyak penghargaan nobel serta diakui tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak pula dari karya beliau yang masuk industri perfilman. Salah satu karyanya yang dijadikan film layar lebar dan paling melejit kala itu adalah “Bumi Manusia” yang merupakan salah satu bagian dari Tetralogi Pulau Buru.
Kehidupan Pram tidak serta merta ada di sastra. Ia tumbuh dari pemikiran, perjuangan, bahkan mendekam dalam pelukan teralis besi selama berpuluh-puluh tahun sudah beliau rasakan. Sastra membawa Pram pada kejamnya rezim penguasa dari Orde Lama hingga Orde Baru. Karyanya pun sempat dibekukan dan tak dapat diselamatkan karena merupakan sebuah ancaman bagi penguasa pada masanya. Oleh karena itu, sastra di tangan Pram dapat menjadi senjata yang paling mematikan.
Dari kota kecil bernama Blora, lahirlah seorang dalang yang membantu pembentukan negara Indonesia. Biografi Pak Pram sangat kompleks karena ironi, tragedi, dan kontroversi bercampur seperti layaknya tokoh dunia yang legendaris. Keterlibatannya dengan Lekra-PKI, bahkan dikatakan beliau melakukan kekerasan terhadap kalangan sastrawan yang menjadi musuh ideologisnya saat itu.
Beliau merupakan saksi mata paling tepat dan eksplisit untuk menjelaskan prahara yang selama ini pernah terjadi di Indonesia. Pram yang berkontribusi dalam perjuangan; baik fisik dan pikiran, Pram yang bersorak-sorak tentang kebebasan, dan Pram yang bergerak merebut kemanusiaan meski selama hidupnya tidak melulu ia dapatkan.
Karya Pramoedya berdasar pada kejadian yang dialami beliau dalam hidupnya. Ia meriset, menjabarkan dengan detail, dan berdasarkan realita pada masanya. Sebagian diantaranya mengadopsi peradaban Eropa (seperti pengetahuan, norma, budaya, dan bahasa). Diskriminasi rasial masa pra-kemerdekaan begitu jelas dalam diksi yang dipakai. Meski tidak menggunakan bahasa penjajah, beberapa leksikon memiliki tendensi ke arah tersebut. Beliau juga mempertahankan istilah asli dengan pretensi bahwa memang istilah hukum dan bahasa asing selalu digunakan. Karenanya, kita dapat mengetahui bahwa istilah dapat merepresentasikan norma yang berlaku pada masa dan tempat tertentu, serta sebagai gambaran adanya hubungan antara prestise, bahasa, dan strata sosial. Tulisan Pram adalah sebuah ‘serangan balik’.
Dari tulisan Pramoedya kita juga mengetahui bahwa pola pandang dan nilai dalam kehidupan terkonstruksi dari substansi, situasi, dan kondisi pada masa tertentu. Hal itulah yang melahirkan kosakata dan bahasa baru. Kosakata dan bahasa tersebut dapat menjadi representasi budaya dan realitas yang terkandung di dalamnya, sehingga pembaca dapat terkoneksi dengan apa yang hendak disampaikan Pram.
Disela-sela kesehatannya yang terus menurun, Pram masih tetap produktif dalam menulis. Beliau menutup lembaran hidup dengan karyanya yang terakhir terbit pada tahun 2005 yakni “Jalan Raya Pos, Jalan Daendles”. Karya yang mengalir tanpa pembagian bab ini berisi kesaksian peristiwa genosida kemanusiaan di balik pembangunan jalan sepanjang 1000 km yang dibangun dengan cucuran darah dan air mata orang-orang pribumi.
Sebagai penghormatan terakhir, musik ‘Internationale’ dan ‘Darah Juang’ yang dinyanyikan di antara pelayat menjadi pengiring Pram sebelum akhirnya tanah dengan senang hati mendekap jasad beliau ke dalam pelukan.
“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.” ― Pramoedya Ananta Toer, House of Glass
Penulis : Asma Muthi