“Demi Tuhan, buatlah blog.”
BANDUNG, berebeja.com – Kutipan diatas saya dapati ketika membaca Sai Zine #8, katanya itu merupakan perkataan dari seorang Paus.
Di era internet seperti sekarang ini, kita bisa menuliskan ide dan gagasan atau bahkan aktivitas sehari-hari dengan cara apapun. Ada yang mengekspresikan dengan menulis, mengabadikannya dengan video, atau menyimpan moment dengan photo. Medianya pun kini beragam, bahkan media sosial selain untuk berinteraksi di ruang maya bisa mengakibatkan perubahan sosial yang tidak bisa kita tahan, seperti beberapa kasus yang terjadi belakangan mengemparkan tanah air.
Salah satu medianya itu adalah blog. Blog merupakan kependekkan dari weblog, yakni tempat dimana kita sebagai pemilik blog bisa mengelola konten berupa artikel, gambar, video, dan sebagainya. Sampai akhirnya disebut blog itu menurut Mark Tremayne di dalam Blogging, Cizitenship, and the Future Media (2006) mengalami beberapa perubahan yang sebelumnya disebut jurnal web, kemudian log web, lalu weblog, selanjutnya blogwee, dan sampai sekarang disebut sebagai blog. Dan itu terjadi di tahun 1990-an.
Blog kini bukan sekedar sebagai jurnal web yang kini miliki secara personal untuk menuliskan rutinitas sehari-hari bahkan blog bisa menjadi medium kita untuk menulis opini, atau bahkan jurnalis warga (citizen journalism). Dalam kata pengantar dalam buku Blogging, Cizitenship, and the Future Media, Mark Tramayne menyebut bahwa blog dengan para bloggernya mendorong perubahan pada politik.
Pengaruh blog terhadap politik ini dituliskan oleh Rusdi Mathari; karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan. Menceritakan Wael Abbas yang mendapatkan penghargaan karena blognya oleh Pusat Wartawan Internasional (ICJ) dimana blognya Wael disebut sebagai produk jurnalisme.
Wael mengenal blog ketika tahun 2004, lalu ketika tahun 2005 warna politik Mesir mengalami pembungkaman terhadap media-media utama. Bahkan menurut Rusdi, ketika aktivis demokrasi di Mesir melakukan demonstrasi, tak ada media arus utama yang meliputi karena mereka tidak berani. Maka di tahun 2005, Wael dan para bloggernya mengambil alih peran mereka.
Di blog, Wael memuat wawancara orang yang dibayar untuk melawan para demonstran. Mereka yang tak tahu apa-apa di pinggiran Kairo Mesir datang diangkut dan dibayar oleh pemerintahan represif kala itu, dan ternyata blog Wael ini diakses oleh setengah juta pengunjung dalam dua hari.
Dari sini kita bisa melihat memahami blog sebagai media alternatif, maka apabila kita merenungi kembali perkataan “Demi Tuhan, buatlah blog” sesuatu keniscayaan itu nampak benar adanya. Membuat blog sangat mudah, karena ada Blogger atau WordPress dan Kompasiana bisa menjadi wadah untuk menulis dan membagikan bacaan alternatif lainnya yang tak ditayangkan oleh media arus utama, dan dikemasnya dengan etika jurnalisme. Namun, seperti yang dikatakan oleh Rusdi Mathari, Jurnalisme bukanlah Monopoli Wartawan.
Bahkan dengan adanya blog ini menjadi ancaman bagi media mainstream karena mengekspansi komunikasi dengan begitu cepat apalagi ongkos pembutannya begitu murah dan gratis. Tinggal bagaimana kita mempelajari algoritma atau menyajikan konten yang berbeda dengan media arus utama. Jika saya melihat hari ini justru jurnalisme warga diberi ruang oleh media arus utama atau bahkan menyediakan kolom blog untuk mereka.
Zaman berlari dengan kencang, tiada alasan untuk tidak menulis dan menebarkan kebermanfaatan. Selamat menulis.***
Editor. Akmal Firmansyah