Kurang lebih satu tahun lagi Jokowi akan menjadi bagian politik masa lalu, rotasi hasil pemilu yang silih berganti dari rezim lama kepada kekuasaan yang baru, banyak yang bilang tak memiliki hal istimewa pada terobasan yang lebih baik, itulah hasil politik setiap lima tahun an itu. Kalau boleh meminjam perkataan Mahfud MD dikarenakan “dipenjara oleh masa silam.”
Mungkin sebagaimana banyak pengamat katakan, satu-satunya pengecualian adalah figur Jokowi yang tampil sebagai tokoh yang menggerakkan politik tanpa bayangan masa silam itu. Meski oleh sejumlah kalangan menilai dalam 4 tahun terakhir di periode kedua Jokowi, bandul politik seperti bergeser pada arah model lama.
Pada akhirnya situasi politik sekarang yang jadi arus utama sangat kental gerakan politik para elit partai, memainkan politik pragmatis dan transaksional, entah sampai kapan permainan politik semacam ini bisa disudahi.
Figur-figur yang dianggap publik sebagai figur yang memilki kapabelitas jadi calon pemimipin, kini susah bertarung, apalagi pertarungan di arena politik kompromi dan transaksional. Bukan saja itu, para tokoh yang mumpuni itu tak memiliki sekoci politik untuk bisa tampil sebagai calon memimpin di negeri ini, sekoci tokoh-tokoh yang mumpuni tersebut sudah dibajak oleh intrik politik yang mengutamakan pragmatis dan transaksional.
Sehingga apa yang disebut dalam demokrasi civic engagement itu hanya basa-basi lima tahun an. Bukan kah dalam demokrasi, keterlibatan setiap warga negara memiliki kepentingan dan preferensi tentang siapa yang harus jadi pemimpin, bukan semata para elit partai memainkan politik transaksional, namun posisi partisipasi publik dalam sebuah demokrasi menjadi tolok ukur utama dalam menentukan kualitas seoarang pemimpin mereka.
Jika abai terkait dengan partisipasi politik publik dan preferensi publik, dalam titik ini masa depan demokrasi kita menjadi mundur akibat politik transaksional para elit.
Demokrasi yang kita lihat hanya kompromi-kompromi elit politik, terutama elit partai, kini kompromi itu menjadi arus utama dalam menentukan pemimpin negeri ini, dan percakapan publik hanya berada pada desk-desk lembaga survei.
Diperparah kompromi-kompromi politik para elit partai tersebut bukan menyamakan presepsi ideologi partai dalam berkoalisi, padahal ideologi partai sudah terbentuk sedemikian kuat dalam preferensi politik pada masing-masing konstituen.
Ideologi politik hal sangat mendasar pada sebuah partai, akan tetapi dalam kacamata publik sekarang para elit-elit partai sepertinya hanya memainkan kepentingan politik sesaat yang pragmatis dan transaksional, tak heran jika politik yang dibangun para elit hanya melahirkan calon pemimpin yang mediokre.
Jokowi merupakan figur pengecualian dari model pemimpin mediokre, Jokowi tidak lahir dari elit partai dan militer, tapi ia lahir dari rahim kehendak publik. Bisa dibilang satu-satunya presiden di dunia yang memiliki kepuasan publik atas kinerja pemerintahannya dengan mendapat kepuasan publik di atas 75 persen.
Legasi Jokowi memang patut dipertahan oleh pemimpin yang mumpuni, bukan sekedar dari calon pemimpin dari hasil kompromi dari para elit partai, terlebih hasil dari politik transaksional. Melahirkan pemimpin yang mumpuni dan bergarkater bukan suatu yang kontigensi terjadi dalam politik negeri ini, tapi sesuatu yang pasti bisa diwujudkan.
Persoalannya calon-calon pemimpin yang dianggap mumpuni itu tak memiliki sekoci politik yang kuat, jika pun mampu ditampilkan oleh para elit partai, akan tetapi keberadaan pemimpin yang mumpuni dan memiliki karakter tersebut hanya mampu dipertimbangkan untuk dipajangkan bukan untuk dijual ke pasar, karena kalau laku dijual, bisa mengancam keberadaan dagangan lain dan juragannya. Oleh karenanya calon pemimpin berkualitas itu tidak ditampilkan dalam meja-meja dagangan para elit partai untuk ditransaksikan.
Untuk menyebut contoh, dalam bayangan banyak publik Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dan Mahfud MD misalnya adalah tokoh yang memiliki integritas dan mumpuni bisa ajukan jadi calon pemimpin bangsa ini, hal itu tidak bisa kita bantah. Namun, mereka berdua tidak memiliki sekoci politik yang kuat dan tidak dipajangkan dalam dagangan para elit partai, padahal jika bisa dibilang, banyak publik sudah menginginkan barang tersebut bisa dipajangkan, bahkan tanpa diiklan, jika boleh disebut barang dagangan Ahok dan Mahfud MD, publik sudah siap mengantri ingin membeli, akan tetapi, jangankan dijual, dipajang pun tidak.
Barangkali, perlu diingat Ahok dan Mahfud sedikit model tokoh yang tidak mempertontonkan absurditas politik, mereka berdua bukan tipikal pemimipin mediokre yang selalu membuat lelucon politik untuk generasi selanjutnya.
Oleh karena itu, jika ke depan para elit partai hanya melahirkan pemimpin bangsa dari hasil politik kompromi dan transaksional, apalagi para elit partai hanya bisa menampilkan lelucon politik. Jangan heran jika rakyat nantinya akan meberi cermin kemarahan kepada para elit-elit partai tersebut, karena hanya mampu melahirkan calon pemimpin mediokre.**
WS Abdul Aziz (Jurnalis dan Pegiat NU di Kota Bandung)