Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia saat ini. Sejak dilahirkannya jami’yah (organisasi) NU memiliki wajah khas, kultur pesantren cerminan dasar jam’iyah ini, episentrumnya adalah kharisma Kiai sebagai pemimpin dipandang cakap memiliki otoritas untuk memimpin jam’iyah NU.
Islam di Indonesia menjadi agama mayoritas, namun dalam struktur masyarakatnya terdiri dari berbagai tipologi massa. Antropolog seperti Clifford Geertz menyebut sebagai percampuran kelompok massa, di Jawa khususnya. Memiliki tiga varian masyarakat; abangan, santri dan priyai.Tipologi masyarakat abangan, menurut Geertz menekankan aspek animisme, sementara kaum santri mewujudkan aspek ke-islam-an yang kuat, sedangkan kelompok priyayi menekankan pada aspek ajaran Hindu mereka di dominasi oleh kelompok aristrokrasi. (1960:5).
Jika dilihat dari tiga tipologi yang dirumuskan Geertz, maka kelompok Islam NU masuk pada tipologi jenis kedua yaitu santri, meminjam istilah dia disebut “varian santri.”
Kelompok atau jama’ah yang mengamalkan karakteristik (amaliah) Islam seperti NU boleh dibilang mayoritas di Indonesia. Salah satu potret besar itu adalah amaliah kelompok muslim di perkotaan, meski tak sebesar di pedesaan, muslim perkotaan banyak mengamalkan amaliah Islam seperti NU, namun penulis kesulitan menemukan atau mencari landasan secara data kualitatif, yang dituntun pada data ilmiah, apakah secara umum masyarakat islam di perkotaan jadi mayoritas pengamal tradisi Islam NU saat ini atau kebalikannya, untuk pada sebuah kesimpulan itu, validasi tersebut perlu riset tersendiri.
Jika dilihat dari fenomena sosial ke agama-an masyarakat muslim perkotaan, misalnya di Kota Bandung, di banyak tempat warganya terlihat mengamalkan karakteristik Islam seperti NU dan juga menurut keterangan para Kiai dan para tokoh-tokoh pesantren setempat mengatakan eksistensi muslim di Kota Bandung menurutnya terkonsentrasi amaliahnya pada karateristik Islam yang diajarkan NU, seperti melaksanakan tahllil, qunut shubuh, shalawat-an, baca barzanji, berziarah kubur, dan seterusnya, akan tetapi hal itu tak mencerminkan kuantitatif yang besar secara jam’iyah (organisatoris).
Rois Am Syuriah periode 2022-2027 PBNU KH. Miftahul Akhyar menyebut bahwa, “Kekuatan jam’iyah Nahdlatul Ulama sebenarnya sangat luar biasa. Tapi, selama ini, banyak warga Nahdlatul Ulama yang hanya memosisikan diri sebagai jamaah, belum ber-jam’iyah. Inilah yang perlu kita jam’iyah-kan.” (Pengantar AD/ART Keputusan Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung, 22-24 Desember 2021).
Rois Am Syuriah PBNU ingin menegaskan bahwa potret besar tersebut belum jadi cermin besarnya gerakan NU secara organisatoris sama halnya apa yang terjadi gerakan NU di Kota Bandung, bahkan dalam konteks ini banyak pihak yang berafiliasi dengan NU mengeluhkan soal redupnya gerakan NU di Kota Bandung secara organisatoris, bahkan secara kumunal di tengah masyarakat.
Khususnya keluhan itu terlontar dari kelompok kiai dan santri, baik dari sejumlah kelompok muslim NU urban maupun muslim NU perkotaan setempat yang masih berpegang teguh pada ajaran Ahlusunnah wal Jam’ah, yang mana ajaran dan faham NU di perkotaan kini semakin hari semakin tergerus oleh faham-faham islam puritan, digerus oleh faham ajaran Islam ekstremis doktrin ala Wahabi dan Kewahabiah, baik oleh faham islam politik, kelompok intoleran, jihadis dan bahkan oleh amaliah gerakan kelompok radikalis yang kini banyak menyasar warga-warga muslim perkotaan.
Hemat penulis, ada banyak faktor mengapa eksistensi gerakan jam’iyah NU di perkotaan khususnya Kota Bandung, untuk tidak menyebut lenyap keberadaannya, ada tapi seperti dalam ketiadaannya (wujuduhu ka adamihi). Fenomena ini dirasakan seperti ada sengkarut yang tidak bisa diurai, sengkarut tersebut bisa jadi dari faktor internal maupun eksternal.
Internalisasi jam’iyah menjadi asas penting dalam kemajuan NU di perkotaan khusunya gerakan NU di Kota Bandung, selanjutnya untuk bisa diidentifikasi lebih jauh dalam sengkarut ini, mengapa katup NU seperti tak terbuka lebar? Sehingga nafasnya hanya membuka sedikit-sedikit, aroma wangi jam’iyah NU menjadi tidak terhirup oleh jama’ah yang besar ini, pertanyaan ini sangat sulit, tetapi perlu terus dicermati apa yang menjadi akar persoalannya.
Oleh karena itu tak salah jika ada pihak yang menuding penyebab meredupnya NU di perkotaan khususnya Kota Bandung, setidaknya ada tiga faktor secara internal. Pertama, bisa disebabkan dalam tubuh internal jam’iyah NU itu sendiri, dalam mengelola jam’iyah tidak lagi memosisikan kiai sebagai pemimpin tertinggi, sehingga kharisma Kiai sebelumnya jadi cermin penting jam’iyah NU seharusnya memiliki otoritas penuh dalam jam’iayah, namun, sepertinya kini kharisma itu hanya dipakai untuk keperluan ketika konferensi atau muyawarah pemilihan saja.
Penyebab kedua kemungkinan besar kelompok intelektual pesantren sebagai khas NU yang menjadi garda paling depan, sejak dilahirkannya NU itu telah diabaikan, tidak dilibatkan penuh dalam mengelola jam’iyah, apalagi kelompok intelektual pesantren tidak lagi menjadi arus utama dalam mengelola jam’iyah NU di perkotaan, sehingga gerakannya NU dan gerakan pemikir santri tersebut mengalami penyumbatan.
Penyebab ketiga kemungkinan, internal jam’iyah telah diklaim para pembajak Kiai dan Pesantren, para pembajak memakai dua jubah kebesaran itu dengan menggerus garis Khittah NU dengan merefer cara politik Machiavelli, sehingga gerakan jam’iyahnya terlalu banyak offside, bahkan AD/ART NU tidak lagi menjadi panduan penting dalam ber-jam’iyah, sehingga terjadi banyak pelanggaran.
Jika demikian hal itu bisa berakibat meredup karisma kiai dan intelektualime pesantren dalam tubuh jam’iyah NU di perkotaan, karena kiai dan santri, tidak lagi dijadikan arus utama dalam mengelola jam’iyah.
Oleh karena itu Rois Am PBNU KH. Miftahul Akhyar mengatakan “Pemahaman terhadap AD/ART merupakan pintu gerbang dalam proses men-jam’iyah-kan jamaah tersebut.” (Pengantar AD/ART NU Keputusan Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung, 22-24 Desember 2021).
Tak kalah penting untuk disikapi serius oleh para pengurus NU di perkotaan, adalah adanya faktor eksternal yang menggerus faham NU di tengah publik, yaitu dominasi kelompok-kelompok yang berseberangan dengan faham akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang kini telah mengkristal di perkotaan, bisa saja kelompok mereka telah menjadi arus utama mempengaruhi dan mendoktrin masyarakat dengan ajaran faham intoleran, puritan (wahabisme), radikal (jihadis), dan sejenisnya. Bahkan pada titik paling ekstrem gerakan mereka telah mendegradasi ajaran NU bahkan melemahkan kekuatan NU, dan pada titik paling rendah meleyapkan secara jama’ah.
Pergumulan fenomena tersebut menjadi tantangan berat bagi pengurus-pengurus jam’iyah NU di perkotaan, sekaligus berbenah merapihkan internal jam’yah dari anasir kepentingan kekuasaan (politik tertentu), harus bersih dari ambisi pribadi dan sebaiknya tak menjadi selebritas ketika sudah menjadi pengurus.
Karena sepanjang sejarah, hancurnya gemilang imperium Islam pada era klasik dan runtuhnya kharisma mazhab pada masa lampau bermuara pada pangkal persoalan ambisi kekuasaan dan ketamakan terhadap kemerlapnya kilauan dunia.
Untuk itu kemandirian NU yang ditegaskan Ketua PBNU KH. Yahya Chalil Staquf sangat penting untuk di bumikan sampai tingkat ranting, menurutnya “Salah satu aspek kemandirian itu adalah Nahdltul Ulama harus bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh dan anasir partai politik mana pun.” (Pengantar AD/ART NU Keputusan Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung, 22-24 Desember 2021).
Dengan demikian langkah strategis menjalankan gerakan NU dalam berkhidmat pada ummat tidak berada dalam bayang-bayang kekuasaan politik praktis yang menggiring pada perpecahan internal jam’iyah atau bahkan menjadi redupnya penerangan NU di tengah ummat.
Menski dalam tradisi keagamaan di kalangan santri atau sistem kebiasaan dalam keagamaan masyarakat Jawa pada umumnya tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan politik, oleh Cliffort Geertz disebut melakukan political Islamic organizations.
Menurut Cliffort Geertz (1960 : 6) kelompok santri tidak hanya menjalankan pelaksanaan ritual dasar Islam secara teliti dan teratur seperti shalat, puasa, haji—tetapi juga mencakup seluruh organisasi sosial, kedermawanan serta organisai politik Islam.
Namun, jika melihat subtansi tujuan NU dalam Khitah 1926 ialah meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab Sunni, melakukan riset kitab-kitab di pesantren untuk melakukan keselarasaan dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, mendakwahkan berdasarkan empat mazhab, mendirikan madrasah, pesantren, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin, membentuk organisasi untuk memajukan pertanian, perdagangan dan industri makanan halal berdasarkan ajaran Islam. (John L. Esposito. 2001 :142. Vol 4).
Khittah 1926 bisa disebut landasan dalam berpijak menuju kemandirian NU di masa kini dan yang akan datang, oleh karena itu NU tercerabut dari anasir-anasir kepentingan politik praktis begitu penting dalam mebangun peradaban. Khittah 1926 lebih dari sebuah pernyataan kebanggaan bahwa jam’iyah NU dalam sejarah republik ini kembali ke arah yang tepat dalam mengelola kemandirian jam’iyah, sehingga mampu mewujudkan jargon NU “ Merawat Jagad Membangun Peradaban.”
Tentu tulisan ini bukan pendapat final untuk menumbuhkan kesadaran berjam’iyah pada NU khususnya gerakan NU di perkotaan, suka atau tidak, jam’iyah NU agar mampu mandiri dan jam’iyah bisa terwujud harus terbebas dari ambisi pribadi dan anasir partai politik tertentu, tentu kesadaran ini membutuhkan keberanian dan juga adannya faktor lain, ilmu kalam menyebutnya sebagai mumkinul wujud.***
Penulis : WS Abdul Aziz, alumni PP Al-Asyiqien Bandung dan Katib Syuriah MWC NU Cicendo Kota Bandung 2023-2028.