Keberadaan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Bandung memiliki sejarah panjang, sejak tahun 1930 an secara jam’iyah (organisatoris) NU masuk ke Tatar Sunda, ada banyak riset tentang berdirinya NU di Jawa Barat, tepat tahun 1931 diadakannya Muktamar NU ke-6 di Cirebon dan mulai dikenal masyarakat Jawa Barat ketika dilaksanakan Muktamar NU ke-7 di Bandung tahun 1932 dan Muktamar NU ke-24 tahun 1967. Menilik sejarah kedua perhelatan akbar warga Nahdhiyin tersebut menujukan gerakan organisasi NU di Bandung saat itu tidak bisa dipandang sebelah mata, tentu mempengaruhi sikap NU secara Nasional.
Eksistensi jam’iyah NU di Kota Bandung lebih dari sekedar usaha dalam mempertahankan ajaran atau doktrin tradisional dari ancaman kelompok-kelompok puritan. Lebih jauh organisasi NU pada saat sekarang menjadi arus utama dalam mempertahankan ideolagi Negara Kesantuan Republik Indonesia (NKRI), menjaga Pancasila, UUD 45, merawat keragaman dan tetap melaksanakan tradisi dalam ekosistem tatanan dunia di era disrupsi digital, terlebih jargon PBNU saat ini “Merawat Jagat Membangun Peradaban.”
Organisasi NU di Kota Bandung, meski tidak sebesar di daerah-daerah seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, akan tetapi NU di Kota Bandung memiliki akar cukup kuat secara tradisi ke-Islam-an yang identik dengan ajaran paham Ahlussunah wal Jama’ah yang telah menjadi fondasi jam’iyah NU. Kebesaran NU di Kota Bandung telah dibuktikan pada masa lampau dengan digelarnya Muktamar NU ke-7 tahun 1932 dan ke-24 tahun 1967.
Dalam sejumlah catatan menyebut bahwa pada Muktamar ke-24 K.H Bisri Sansuri berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan Rois ’Am PBNU mengungguli K.H. Wahab Chasbullah. Meski kala itu Kiai Bisri berisikeras menolak terpilih sebagai Rais ‘Am PBNU selama ada KH. Wahab Chasbullah yang lebih sepuh. Akhirnya Muktamar di Bandung tersebut memilih Kiai Wahab.
Bisa dibilang Bandung menjadi episentrum gerakan NU Jawa Barat, oleh karenanya pada saat sekarang ekosistem para pengurus NU di Kota Bandung harus memiliki energi positif dalam melakukan gerakan NU, mandiri dan akuntabilitas terhadap jam’iyah, terutama menguatkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah di tengah-tengah umat dengan aktif dan progresif.
Eksistensi NU di Kota Bandung sebagai ormas islam yang berada di tengah perkotaan kosmopolit, memang tidak bisa dibilang ringan. Karena itu jika meminjam teori sosiologi Ibnu Khaldun (w.1406) dalam karyanya kitab Muqadimah, masyarakat perkotaan yang ia sebut sebagai Umran Hadlari penduduknya memiliki heterogensi kuat, juga kental dengan kehidupan kosmopolitan, maka kata Khaldun Umran Hadlari cenderung tidak begitu tangguh, tidak progresif, kerena menurutnya sudah terwarisi hidup nyaman dan tentram, masyarakat Kota lebih memilih pada zona nyaman. Berkebalikan dengan orang-orang desa, yang disebut Ibnu Khaldun sebagai Umran Badawi, mereka jauh lebih berani dan memiliki watak yang tidak lembek dari pada masyarakat kota, mereka lebih kuat dan teguh dalam bersikap dalam mentaati ketentuan. (Ibnu Khaldun.2001:153-154.Vol.1).
Karena itu basis jam’iyah NU terbesar dan memiliki kemajuan yang sangat pesat berada di pedasaan, berbeda dengan gerakan jam’iyah NU di perkotaan memiliki sentimen yang unik, meski populasi warga NU di perkotaan tidak banyak secara kuantitatif dan tidak semegah di pedesaan. Sebagaimana Ibnu Khaldun analisa tentang masyarakat perkotaan demikian adanya, sangat kosmopolitan tapi hal itu sekaligus punya tantangan tersendiri bagi aktor-aktor penggerak NU.
Apalagi kehidupan perkotaan di era modern seperti saat ini, jauh lebih berat, di samping menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan eksistensi NU, pengurus NU juga dituntut harus mampu berhadapan langsung dengan aktor-aktor intelektual modern Kota yang kosmopolit dan mereka cenderung puritan dalam paham keagamaannya, diperparah derasnya arus ideologi paham-paham agama trans-nasional yang melemahkan ajaran paham Islam yang dianut NU dan terlebih adanya gerakan radikalisme agama, yang oleh sejumlah riset menujukan episentrumnya berada di perkotaan.
Sejak dilahirkan hingga saat ini, posisi jam’iyah NU masih menjadi suatu yang seksi dan memiliki magnet yang besar di Republik ini untuk terus diperbincangkan, baik dilihat dari aspek internal maupun dari eksternal. Dengan demikian gerakan NU di Kota Bandung jika dilihat dari sejarahnya cukup diperhitungkan eksistensinya, tentu telah banyak melahirkan kader-kader NU terbaik di Kota Kembang ini, yang mampu membawa wibawa NU menjadi organisasi yang besar.
Membincang Suksesi Kepemimpinan NU di Tingkat Kota.
Membicarakan jam’iyah NU Kota Bandung kini sejumlah pihak sudah mengalami kegelisahan panjang, meski tidak untuk menyebut eksistesi jam’iyah NU di Kota Bandung di ujung tanduk. Saat ini perlu ada terebosan mendesak tentang suksesi kepemimpinan NU yang diletakkan pada musyawarah di tingkat Kota, karena kepemimpinan Pengurus Cabang (PC) saat ini akan segera berakhir.
Dalam tradisi jam’iyah NU, Konferensi Cabang NU (Konfercab) merupakan forum tertinggi untuk melaksanakan suksesi kepemimpinan NU di tingkat Kota/Kabupaten, tak lain majelis ini untuk memilih (Rois Syuriyah dan Tanfidziyah). Dalam majelis ini para pengurus NU untuk menatap NU ke masa depan mewujudkan NU pada eksistensi yang lebih tinggi pada tingkatannya,yang mana garisnya telah diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) NU.
Ada banyak para kiai dan intelektual pesantren di Kota Bandung ini, yang mana kutub ini menjadi cermin penting dalam jam’iyah NU. Bahkan selain kutub kelompok Pesantren, para pengusaha (pedagang) dan pendidik dari kalangan NU, kini tak kalah banyaknya. Aktor-kator NU maupun kader NU banyak tersebar di Pengurus Cabang (PC) , Majelis Wakil Cabang (MWC) Ranting dan di luar struktur tersebut.
Penulis mencoba men-creat pada dua kutub (kiai dan pedagang), bukan berarti kutub-kutub lain tidak penting. Karena secara mendasar aliansi kedua kutub ini (kiai dan pedagang) menjadi asas penting dalam kemajuan NU ditengah krisis kepemiminan dan kemandegan jam’iyah. Agama dan ekonomi menjadi titik krusial untuk memajukan NU di Kota Bandung saat ini, sehingga kemandirian NU tidak diidentikan atau bergantung pada kekuatan politik tertentu.
KH. Wahab Chasbullah (1888-1971) sebagai penggerak NU pada periode pertama munurut Martin van Bruinessen (1994:38), Kiai Wahab takala merintis madrasah Tashwihul Afkar, juga menggandeng para pedagang yang terhimpun dalam Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang). Bruinessen menegaskan bahwa NU memiliki relasi kuat dengan organisasi-organisasi yang lahir lebih awal. Oleh karena itu tak heran jika pengurus NU pada periode pertama seperti dikemukakan Martin van Bruinessen, terdiri dari para kiai dan pedagang serta ada beberapa pendidik, meski kata Bruinessen para kiai lebih medominasi sebagai pengurus. Dari 27 orang pengurus NU pada periode pertama, Bruinessen menyebut ada 15 orang dari kalangan ulama dan sisanya para pedagang dan pendidik.
Maka memajukan dan memandirikan jam’iyah NU di Kota Bandung hemat penulis harus menjadi tujuan utama dalam suksesi kepengurusan PC NU Kota Bandung mendatang dan memiliki komitmen kuat untuk menyegarkan NU di atas kepentingan lain. Bila dipandang cakap, para pengurus ranting dan MWC sebagai pemilik suara harus terlibat penuh dalam suksesi NU di Kota Bandung, tentu tanpa mengesampingkan aktor-aktor pengerak NU lain yang memiliki komitmen kuat terhadap kemajuan NU.
Soal siapa yang menjadi pemimin tertinggi mendatang, para pemilik suara dan para aktor NU harus memilki kepekaan terhadap permasalahan NU, memilki kewarasan berfikir yang jernih dalam melihat persoalan NU di satu sisi, dan memiliki intelektulity dan morality yang tinggi di lain pihak, karena hal itu menetukan maju dan mundurnya NU di masa mendatang, bukan ditentukan oleh faktor-faktor ambisi pribadi, kepentingan kolega, kekuasaan, dan kepentingan politik tertentu yang mana hanya memanfaatkan ceruk warga NU, kepentingan kolektif jam’iyah menjadi asas dalam mengelola jam’iyah.
Menarik dan penting menurut penulis untuk merefer pada kepemimpinan Rais Syuriyah ‘Am KH. Achmad Sidik (1026-1990) dan Ketua Tanfidziah KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009), mereka berdua terpilih sebagai pucuk pimpinan NU pada Kongres ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo. Duet kepemimpinan Kia Achmad Sidik dan Gus Dur sangat aktif dan progresif dalam memajukan NU kala itu. Syuriyah sebagai majelis tertinggi NU berfungsi dengan baik dan aktif sebagaimana yang digariskan AD/ART NU.
Bersama Kiai Achmad Sidik, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan timnya melakukan secara ketat keputusan Muktamar tersebut agar NU memutuskan hubungan dengan partai politik tertentu ,dengan melarang para pengurus NU merangkap jabatan sebagai pengurus di partai tersebut. Meski dari sejumlah pihak terjadi keluhan terutama dari politisi dan aktor-aktor NU yang tersingkir. (John L. Esposito.2001:146,Vol.4).
Munas Situbondo sebagaimana dikemukan Martin van Bruinessen (1994:134) merupakan kemenangan nyata bagi Kiai Achmad Sidik dan Tim Tujuh terdiri dari KH. Andurrahman Wahid, A. Bagdja, M. Zamroni, Mahbub Djunedi, Said Budairy, Fahmi Saifuddin, dan Danial Tanjung. Ketujuh orang ini yang ditugaskan Kiai Achmad Sidik untuk merumuskan pemulihan Khittah NU 1926 yang diartikulasikan dalam bentuk tulisan.
Frekuensinya seperti dengan PBNU periode sekarang soal kemandirian NU dalam politik praktis. NU hari ini harus tercerabut dari anasir-anasir partai politik tertentu. Untuk itu kemandirian NU yang ditegaskan Ketua PBNU KH. Yahya Chalil Staquf sangat penting untuk di bumikan pada semua tingkatan, menurutnya “Salah satu aspek kemandirian itu adalah Nahdlatul Ulama harus bisa lepas sepenuhnya dari pengaruh dan anasir partai politik mana pun.” (Pengantar AD/ART NU Keputusan Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung, 22-24 Desember 2021).
Pada Muktamar ke-28 tahun 1989 di Krapyak Yogyakarta KH.Achmad Sidik dan KH. Abdurrahman Wahid mereka berdua kembali terpilih sebagai Rais Syuriyah dan Tanfidziyah dengan menunjukan dukungan kuat yang mereka peroleh dari mayoritas para kiai dan aktivis lokal. Pada kepemipinan ini berbagai program dilakukan secara progresif, adanya pelbagai transformasi industrialisasi dan urbanisasi yang menurunkan proporsi penduduk desa dan mengubah gaya hidup desa secara cepat untuk menyongsong abad ke-21.
Gus Dur mencoba menjelaskan kebijakan dan prilaku NU dalam istilah teologis. Bagi Gus Dur doktrin tradisional yang ia yakini memilki relasi juga dengan kebutuhan duniawi dengan tak berjarak, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat, sehingga dalam memahami sekularisme mampu membentuk pertahanan kuat yang efektif. Meski demikian kepemimpinan Kiai Achmad Sidik dan Gus Dur yang aktif dan progresif tersebut dalam kebijakan dan pernyataannya, dianggap kontroversi oleh beberapa ulama NU. Banyak kiai yang melabeli Gus Dur berfikir seperti Muktazilah, Syi’ah, agen zeonis, sosialis, dan berbagai tuduhan lainnya.(John L. Esposito.2001:146 dan 147,Vol.4).
Oleh karena itu soal suksesi kepemimpinan NU di Kota Bandung penting diperbincangkan, tak lain untuk kemajuan jam’iyah NU Kota Bandung di masa mendatang, baik mendiskusikan Syuriah yang aktif maupun Tanfidziah yang progresif. Ini penting untuk kemajuan NU Kota Bandung di masa selanjutnya, sekalipun pemimipin NU mendatang memiliki kontroversial seperti yang pernah dilakukan Gus Dur, namun demikan Gus Dur membawa NU ke puncak tertinggi. Meski tulisan ini bukan untuk menakar secara langsung, tapi setidaknya irisan-irisan apa yang pernah dilakukan Gus Dur penting direfer para kader NU di mana pun.
Penulis percaya ada banyak tokoh-tokoh NU di Kota Bandung mampu menyegarkan kembali kehidupan NU di Kota ini, baik di tingkat ranting, MWC dan pengurus PC saat ini, semua adalah aktor-aktor NU yang memiliki komitmen kuat pada kepentingan NU di atas kepentingan pribadi dan kekuasaan politik tertentu. Atau dalam kata lain para aktor-aktor NU yang memiliki komitmen kuat memajukan NU di Kota kesayangan ini, mereka harus mampu kembali bangun dari tidur lelapnya, dan terbangunnya pun, bukan seperti bangun tidur di tengah malam yang hanya untuk buang hajat ke kamar kecil, lalu tidur kembali.
Suatu yang tidak bisa dibantah ada banyak aktor-aktor dan kader-kader NU di Kota Bandung untuk bisa menduduki posisi terhormat dan posisi strategis lain pada pengurus NU di tingkat Kota ini. Persoalannya tujuan mendapat posisi terhormat jadi pengurus NU itu untuk apa ? mau mengerjakan apa? arah dan tujuan mau kemana? dan NU mau dibawa kemana ? yang paling krusial adalah mengajukan pertanyaan ini; mau berkorban apa untuk NU ? pertanyaan-pertanyaan semacam ini perlu diajukan kepada aktor-aktor NU dan kader-kader NU di Kota Bandung ini yang akan memimpin mendatang.
Karena eksistensi NU di sebuah Kota yang kosmopilit sangat beragaram paham keagama-an-nya seperti di Kota Bandung ini, bukan perkara mudah memimpin sebuah organisasi sebasar NU. Meski suatu yang berat itu tetap akan menjadi ringan bila dikerjakan bersama satu yang lain, saling mengisi dan tidak ada friksi atau curiga sesama penggerak NU, tentunya harus memiliki kesamaan ingin memajukan NU.
Berlimpah para intelektual pesantren, kelompok pengusaha, dan kaum pendidik di Kota Bandung dari kalangan NU, penulis kira sangat logis bila NU di Kota Bandung seharusnya mampu besar dan disegani. Ini bisa diwujudkan adanya saling kerjasama dengan baik untuk memajukan NU di atas kepentingan yang lain, dengan demikian kemajuan NU di Kota Bandung bukan mimpi lagi.Wallahu ‘Alam.
Penulis : WS Abdul Aziz, alumni PP Al-Asyiqien Bandung dan Katib Syuriyah MWCNU Cicendo Kota Bandung periode 2023-2028.