Menu

Mode Gelap
Mengetahui Sistem Pertahanan Iron Dome Israel

Kolom


Perlunya Pimpinan NU Kota Bandung Aktif dan Progresif

- berebeja.com
31 Agu 2023 19:03 WIB


 Perlunya Pimpinan NU Kota Bandung Aktif dan Progresif Perbesar

Bandung, berebeja.com – Jika tidak ada aral merintang, tidak lama lagi Jam’iyah NU di Kota Bandung  akan menyelenggarakan Konferensi Cabang (Konfercab ke-19). Konfercab merupakan perhelatan akbar, suatu majelis tertinggi dalam melahirkan putusan-putusan penting Jam’iyah Nahdlatul Ulama di tingkat Kota/Kabupaten. Pada Konfercab tersebut pada titik paling penting hendak memilih pucuk pimpinan tertinggi  Jam’iyah NU (Syuriyah-Tanfidziyah) di tingkat Kota/Kabupaten. Adapun mekanisme pemilihannya sudah digariskan menurut AD-ART dan Peraturan Perkumpulan (Perkum) Nahdaltul Ulama serta kebijakan dari PBNU.

Organisasi NU di Kota Bandung memiliki sejarah panjang. Pada masa lalu organisasi yang dimotori oleh para kiai ini, eksistensinya di Kota Bandung boleh dibilang tidak bisa dipandang  sebelah mata. Dua kali perhelatan akbar secara nasional yaitu Muktamar NU yang diselenggarakan pada 1932 dan 1967 tersebut mengindikasikan besarnya Jam’iyah NU di Kota Bandung pada masa itu. Meski di era sekarang Jam’iyah NU di Kota Bandung sudah tidak sebesar seperti masa lalu, namun keberadaannya masih cukup penting dan strategis bagi ummat Islam seacara umum, khususnya Jam’aah NU, namun demikian untuk tidak menyebut redup keberadaan gerakkannya akhir-akhir ini.

Oleh sebab itu untuk membangkitkan kembali kejayaan organisasi NU di Kota Bandung dibutuhkan sosok pemimipin yang tidak hanya memiliki glorifikasi ansich, tentunya memiliki integritas dan progresif serta berani turun ke bawah, dalam istilah modern sosok pemimipin yang populis bukan pemimpin yang elitis. Sebagai mana para muasis NU pada masa lalu lakukan dalam memajukan jam’iyah NU kominkasi bawah-atas, bahkan mereka adalah sosok-sosok yang mau menghidupi NU, personal semacam ini yang dibutuhkan NU Kota Bandung ke depan.

Keberadaan model pemimipin seperti itu yang banyak dikehendaki oleh arus bawah, menurut mereka  sangat dibutuhkan pemimpin populis untuk membangun NU di Kota Bandung mereka yang melakukan komunikasi bawah-atas, bukan atas-bawah. Meminjam istilah mereka bukan individu-individu yang hanya menumpang popularitas atau terlebih menumpang hidup dengan membawa simbol-simbol kebesaran NU apalagi sosok yang tidak melakukan tranparansi ke arus bawah.

Kepemimpinan dalam kajian modern merupakan metode mengelola manusia, mengarahkan orang untuk hal-hal yang baik dalam mencapai tujuan organisasi diatas kepentingan pribadi. Karena terkait  mengelola manusia, kepemiminan itu harus dimulai dalam dirinya sebagai titik tolak kepemimpinan sebenarnya, dengan menegasikan pada dirinya, soal mau apa ia memimpin, mau apa yang dia capai. Pemimpin tentu harus memiliki visi dan misi, punya tujuan yang jelas. Jika disederhanakan, sebelum memimpin untuk mengelola manusia lain, ia harus terlebih dahulu berfikir soal bagaimana seoarang pemimpin mengelola dirinya sendiri dengan baik.

Atau jika merujuk pada metode kajian Islam klasik yang diletakkan oleh Imam Mawardi (w.450 H) penulis kitab Ahkam al-Sulthaniyah (hukum tata negara) yang terkenal itu, setidaknya tipologi pemimpin yang memenuhi syarat kepemimpinan ialah ; dia harus mampu menegakkan keadilan (al-‘adalah), memiliki intelektualis agar bisa melakukan diskresi (ijtihad) dalam melakukan kebijakan, kemudian kata Imam Mawardi, calon pemimpin itu harus sehat secara jasmani atau tak memiliki penyakit kronis, ia pun rarus memiliki visi yang jelas untuk membangun kebijakan yang baik bagi kemaslatan umat, dan memiliki keberanian untuk menjaga marwah jam’iyah dan jama’ah. Kira-kira demikian tipologi pemimpin yang ditawarkan serjana muslim klasik Imam Mawardi.

Dengan demikian kepemimpinan yang lebih mengutamakan tujuan organisasi diatas kepentingan pribadi adalah menjadi sosok yang dibutuhkan NU di Kota Bandung pada saat ini dan yang akan datang. Jika boleh diilustrasikan atau dirumuskan secara mendesak, yaitu harus memiliki kepemimpinan Syuriyah yang aktif dan Tanfidziyah progresif, mereka harus berani melakukan terobosan demi perbaikan, melakukan penyegran yang baru, bukan terus berada pada kubangan yang statis tidak dinamis.

Contoh yang tidak jauh adalah seperti yang pernah dilakukan K.H. Achmad Shiddiq (1926-1990) dan K.H. Abdurrahman Wahid (1940-2009) pada Mukatamar NU di Situbondo pada 1984. Kedua tokoh ini telah terbukti melakukan terobosan yang sangat luar biasa sehingga dapat dirasakan hingga saat ini, ide dan terobosan yang mereka lakukan terus terasa dan relevan untuk kemajuan NU. Mereka berdua telah meletakkan fondasi sangat mendasar dalam tubuh NU, mengikuti track yang sudah digariskan oleh NU, meminjam perkataa Allahu Yarham K.H. Achmad Shiddiq ; «  NU itu ibarat kereta api, bukan taksi yang bisa dibawa sopirnya kemana saja. Rel NU itu sudah tetap,» katanya.

Pada saat ini eksistensi NU  mepunyai tantangan terberat, karena berada di era disrupsi modern dan era digitalisasi yang sangat dinamis dan serba cepat. Terlebih keberadaan jam’iyah NU berada di Kota kosmopolit seperti Bandung yang sangat heterogensi penduduknya, disesaki pula oleh kelompok-kelompok pemahaman Islam populer perkotaan, derasnya kelompok-kelompok puritan dan bahkan radikal yang tumbuh di Kota-Kota besar seperti Bandung bukan hal rahasia lagi,  ini memiliki tantangan tersendiri bagi jam’iyah NU di Kota kembang ini.

Apalagi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode sekarang memiliki misi besar dengan jargon  Merawat Jagat Membangun Peradaban tagline besar ini tentu harus mampu diartikulasikan dengan baik oleh para pemimpin NU di daerah-daerah, agar cita-cita besar PBNU tersebut bukan sebatas glorifikasi di tingkat pusat, tapi mampu membumi sebagaimana peradaban-peradaban di masa lampau yang terekam dalam jejak-jejak sejarah.

Oleh karenanya dalam situasi tersebut sangat mendesak harus ada sosok pemimpin yang memiliki kepemiminan yang aktif dan progresif dalam tubuh jam’yah NU di Kota Bandung ini, dan tentu sosok yang mau mengurus NU dengan penuh kesadaran intelektual (ilm) dan keberanian perbaikan (al-Saja’ah al-ishlahiyah) serta pengorbanan tinggi (tahdhiyah al-‘aliyah) untuk tujuan menghidupi NU agar nantinya tercapai tujuan organisasi dengan baik dan benar, selanjutnya mampu memupuk peradaban di tingkat daerah serta terwujud kemandirian organisasi, sehingga terobosan tersebut sesuai diharapkan para pendiri NU yang telah mendahului kita. Tentu opini yang penulis ketengahkan ini bukan suatu tesis yang ajek berdiri sendiri, melainkan untuk berkhidmat pada Jam’iyah Nahdlatul Ulama lewat tulisan pendek ini. Semoga !

Penulis : Raden AS Zarkasih ( Sekretaris MWCNU Gedebage Bandung)

Artikel ini telah dibaca 155 kali

Baca Lainnya

Merebut Suara NU di Pilwalkot Bandung 2024

3 Oktober 2024 - 05:30 WIB

Integritas Pebisnis

12 September 2024 - 07:07 WIB

Pentingnya Memakmurkan Masjid

6 September 2024 - 05:25 WIB

Menjadi Masyarakat Pengkritik dan Pengontrol Parlemen

8 Agustus 2024 - 13:49 WIB

Hijrah, Kritik Atas Doktrin Kelompok Jihadis dan Prinsip Kebebasan

8 Juli 2024 - 09:27 WIB

Menyambut Tahun Baru Islam dan Menafsirkan Kembali Semangat Hijrah Nabi

7 Juli 2024 - 07:23 WIB

Trending di Beja+