Menu

Mode Gelap
Mengetahui Sistem Pertahanan Iron Dome Israel

Beja+


Paradigma Sunisme dan Pertahanan Kultural dalam Diskursus Islam-Jawa

- berebeja.com
24 Feb 2022 20:56 WIB


 Ilustrasi Kaligrafi Arab Ahlusunnah Wal Jama'ah. Perbesar

Ilustrasi Kaligrafi Arab Ahlusunnah Wal Jama'ah.

BANDA ACEH, berebeja.com – Konsep Ahlus Sunnah wal Jamaah atau yang diformulasikan belakangan sebagai Partikular Sunnisme oleh Murthada Az-Zabidi dan KH. Hasyim Asy’ari pada hakikatnya merepresentasikan paradigma struktural formalisme yang mengabaikan konsiderasi realitas kultural sebagai paradigma fenomologis dalam melihat realitas. Cara pandang ini terlihat dari segregresi dalam nomenkaltur Clifford Geertz yang memisahkan antara golongan Santri atau Putihan dengan kalangan Priyayi yang sebenarnya merupakan pemisahan antara paradigma teologi Sunni Asy’ari yang didasarkan pada pola struktural formalisme dalam memandang realitas dengan menjadikan teks sebagai sumber pengetahuan Adikuasa di dalam struktur analitis antara doktrin dan realitas dengan paradigma fenomologis di kalangan Priyayi yang menekankan pada konseptualisasi pengalaman praktik keagamaan. Kalangan Priyayi sebagai representasi golongan yang mempraktikkan suatu praksis keagamaan Islam-Jawa dalam pengertian M. C. Ricklefs dan A. H. Johns mengalami sinkretisme mistisa tau sintesis mistis dengan antesenden ajaran-ajaran esoteris pra-Islam yang membentuk apa yang disebut oleh Vladimir I. Braginsky sebagai sintesis Sufi-Tantrik yang didasarkan pada paradigma fenomologis dimana konsep praksis keagamaan Islam-Jawa dibentuk melalui hubungan dialektis antara Islam dan nilai-nilai kultural Jawa pra-Islam atau yang disebut oleh Oman Fathurahman sebagai bukan hanya Islamisasi Jawa tetapi juga Jawanisasi Islam.

Perbedaan paradigma antara struktural formalisme yang direpresentasikan dalam konsep Sunnisme kalangan Santri yang telah baku dan mapan dengan paradigma fenomologi kultural kalangan Priyayi yang merepresentasikan Islam-Jawa (Javanese Islam) melahirkan pemisahan Worldview dalam mengkonsepkan praksis keagamaan. Kalangan pendukung konsep Sunnisme menggariskan nilai kebenaran seperti diajarkan oleh Al-Ghazali dalam Al-Mankhūl bersumber pada epistemologi teks (asy-syar’u al-manqūl) sehingga praksis keagamaan harus didasarkan pada pedoman atau petunjuk teks-teks keagamaan yang otoritatif. Sementara bagi pendukung paradigma kultural Islam-Jawa, praksis keagamaan sebagai hasil proses fenomologi dibentuk melalui

konseptualisasi pengalaman praktik keagamaan yang berkembang di masyarakat Islam-Jawa sebagai hasil dialektis antara Islam dan nilai-nilai Jawa pra-Islam. Paradigma struktural formalisme dalam konsep teologi Sunnisme memandang bahwa konsep-konsep keagamaan seperti teologi dan syariah Islam telah mapan sebab disandarkan pada otoritas teks (nash). Sebagai konsekuensinya, konsep-konsep keagamaan tersebut menjadi paradigma dan konstruksi nilai bagi realitas masyarakat Islam dalam membangun praksis keagamaan. Sementara bagi kalangan Islam-Jawa yang didasarkan paradigma Sintesis Mistis, konsep-konsep keagamaan tersebut terbentuk dari interaksi antara pemahaman agama masyarakat Islam-Jawa dalam pengamalannya sehari-hari. Sebab itu, konsep keagamaan Islam-Jawa merupakan hasil kontekstualisasi atas realitas sosiokultur yang berkembang dan mengalami proses dialogis antara tataran nilai-nilai keagamaan yang mapan dengan nilai-nilai kultural yang dinamis.

Perbedaan paradigma yang muncul antara kalangan pendukung konsep Sunnisme dan pendukung Islam-Jawa tidak terlepas dari perkembangan teks-teks keagamaan dalam Islamisasi Jawa yang menjadi pedoman bagi masing-masing komunitas keagamaan. Pada awal periode Islamisasi Jawa, berkembang di pesisir Utara Jawa tepatnya di Sedayu sebuah naskah yang disebut sebagai Kropak Ferrara. Naskah Kropak Ferrara terdiri atas dua buah teks dari abad ke-16 M yang disusun oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai khalīfah bagi para ulama di tanah Jawa yang dapat diduga merujuk kepada otoritas Giri Kedaton di bawah kekuasaan Sunan Giri I Kedaton atau Sunan Giri II Prapen. Teks ini disusun sebagai pedoman bagi masyarakat Islam-Jawa yang baru berkembang dengan menekankan pada purifikasi ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada konsep Sunnisme. Ajaran-ajaran Sunnisme yang dikembangkan dalam teks ini tidak terlepas dari paradigma struktural formalisme dengan menekankan otoritas teks-teks agama sebagai sumber kebenaran bagi pengamalan ajaran-ajaran Islam serta mengecam adanya interaksi Islam dengan ajaran-ajaran Jawa pra-Islam dengan menganggapnya sebagai ajaran-ajaran kufr yang bukan bagian dari ajaran-ajaran Islam dan tidak boleh diamalkan.

Paradigma berbeda berkembang di kalangan masyarakat Islam-Jawa di Selatan Jawa seperti yang ditunjukkan di antaranya dalam teks Serat Wirid Hidayat Jati. Teks Serat Wirid Hidayat Jati disusun oleh R. Ng. Ronggowarsito yang ditujukan sebagai pedoman bagi pengamalan kaweruh Jawa yang didasarkan pada ajaran-ajaran esoteris kalangan Walisongo.[1] Ajaran-ajaran esoteris dalam Serat Wirid Hidayat Jati tidak dapat diabaikan merupakan bentuk sintesis Sufi-Tantrik yang ditandai oleh dialektika antara ajaran tasawuf falsafi seperti Martabat Tujuh yang didasarkan pada pengaruh Tuhfah al-Mursalah ilā al-Nabī dalam khasanah Islam-Jawa dengan ajaran-ajaran esoteris Tantrayana yang bercorak Vedanta (Monisme). Proses interaksi antara tasawuf falsafi dan Tantrayana dalam konteks Islam-Jawa tidak terlepas dari paradigma fenomologis masyarakat Islam-Jawa yang menempatkan pengalaman keagamaan sebagai hasil proses interaksi dialektis antara ajaran-ajaran Islam dan Jawa pra-Islam.

Addiarrahman mendeskripsikan perbedaan paradigma tersebut ditunjukkan di antaranya melalui persaingan hegemoni kekuasaan antara kerajaan Demak (barangkali Giri Kedaton) di pesisir Utara Jawa yang merepresentasikan kerajaan Islam bercorak Sunni melawan kerajaan Mataram yang berkarakter sinkretis. Persaingan dan perebutan hegemoni tersebut disertai dengan taklukkannya otoritas Islam Sunni di pesisir utara Jawa dan berlangsungnya proses domestikasi Islam-Jawa. Harry J. Benda mengilustrasikan proses ini sebagai persaingan hegemoni antara Islam dan unsur-unsur non-Islam yang menjadi karakter Islam di Indonesia.   J. C. van Leur bahkan menyebut proses Islamisasi tidak menghadirkan suatu konstruksi peradaban yang lebih tinggi, alih-alih tradisi-tradisi Hindu-Indonesia sebagai antesenden yang tetap dipertahankan. Para pemeluk Islam yang dominan justru sebagian besar dari kalangan aristokrat Jawa, sehingga sebagian besar warisan tradisi Hindu-Buddha yang terdapat di kerajaan-kerajaan pedalaman tetap dapat dipertahankan dalam struktur kerajaan patrimonial yang birokratis.

Proses interaksi antara ajaran-ajaran Islam dengan konsep-konsep teosofi Jawa pra-Islam menghasilkan sintesis mistis yang di satu sisi ditandai oleh kesadaran identitas Islami yang kuat sebagai orang Jawa dan pelaksanaan rukun Islam secara ketat, tetapi di sisi lain terlepas dari adanya kontradiksi dengan kedua hal tersebut, terdapat paham penerimaan terhadap realitas dimensi spritual khas Jawa seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan pelbagai makhluk adikodrati. Penerimaan terhadap unsur-unsur Jawa pra-Islam tersebut melalui varian praktik mistisme Sufi-Jawa. Sebagian besar tradisi Jawa pra-Islam dalam mistisme Sufi-Jawa dalam konsep kekuatan magis (Kasekten) yang seringkali dihubungkan dengan praktik bertapa (tapa) dan tradisi pewayangan menimbulkan perdebatan di antara kalangan Santri dan Priyayi penganut kejawen terkait aspek eksoteris yang dijadikan sebagai

medium dalam pengamalan praktik mistisme Islam-Jawa yang sarat sinkretisme.

Perbedaan paradigma antara pendukung konsep Sunnisme dan paradigma kultural dalam mengkonsepsikan praksis keagamaan telah sejak awal muncul dalam teks-teks heresiografi Islam. Sebagian besar teks heresiografi tersebut dikembangkan oleh kalangan Mutakalimin sebagai pengusung penting paradigma Sunnisme untuk menentang pengembangan konsep praksis keagamaan di sebagian kalangan Mawalī (non-Arab) terutama Persia (Khurasan) yang tetap mempertahankan unsur-unsur ajaran pra-Islam. Mereka seringkali dalam literatur heresiografi dicap sebagai golongan kebatinan (al-bainiyah). Literatur awal yang membahas penyimpangan di kalangan kebatinan (al-bainiyah) di antaranya disusun oleh Qaḍī Al-Baqillani dengan kitab berjudul Kasyf Asrār al-Bainiyah dan juga sebuah kitab yang disusun oleh Al-Ghazali berjudul Faāih al-Bainiyah. Kedua kitab tersebut di kalangan pendukung paradigma Sunnisme ditujukan sebagai polemik terhadap ajaran-ajaran kebatinan yang seringkali dipraktikkan oleh golongan Mawalī (non-Arab) yang tetap mengembangkan unsur-unsur ajaran pra-Islam yang dianggap heretik dan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam seperti yang dipraktikkan oleh Syiah Isma’iliyah, Karramiyah, Rawandiyah dan lain sebagainya.

Paradigma Sunnisme yang menentang adanya unsur-unsur ajaran pra-Islam dalam praksis keagamaan juga muncul dalam perdebatan antara kalangan Santri dan Priyayi. Kalangan Santri menganggap bahwa unsur-unsur Jawa pra-Islam dalam praksis keagamaan Islam-Jawa merupakan bentuk syirik (Shirk). Sedangkan kalangan Kejawen menganggap bahwa ajaran-ajaran pra-Islam yang tidak secara terbuka menujukkan penentangan dengan Islam bukanlah suatu bentuk syirik (Shirk). Sebagai implikasinya kalangan Priyayi dan penganut Kejawen menganggap pengkeramatan para Wali dan interpretasi mistis pewayangan yang sebagian besar menunjukkan representasi ajaran-ajaran Tantra bukanlah suatu bentuk syirik (Shirk). Kalangan penganut Kejawen menganggap bahwa seluruh yang diciptakan merupakan cermin bagi sifat-sifat Allah, tetapi keesaan Allah tidak sama dengan keesaan makhluk dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Bahkan sebagian kecil kalangan penganut Kejawen justru mengklaim bahwa penalaran Syariah di kalangan Santri merupakan bentuk syirik (Shirk) sebab lebih menekankan pada praktik ritual keagamaan daripada mengenal (ma’rifah) Allah Swt. Sedangkan kalangan Santri yang radikal justru melihat sebaliknya bahwa pengeramatan kuburan dan mencari kesaktian atau bahkan menyaksikan pertunjukan wayang merupakan bentuk syirik (Shirk). Perbedaan paradigma ini menunjukkan pertentangan antara kalangan mistisme Kejawen yang menerima segala bentuk ajaran-ajaran pra-Islam dan kalangan pendukung kesalehan normatif yang menganggap bahwa segala hal yang tidak termasuk ke dalam bentuk kesalehan normatif sebagai bentuk syirik (Shirk) atau penyimpangan.

Perbedaan paradigma antara Sunnisme di kalangan Santri yang didasarkan pada kesalehan normatif dan kalangan pendukung mistisme Islam-Jawa ditunjukkan dalam polemik KH. Ahmad Mutamakin terkait dengan ajaran yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci. Polemik berlangsung antara KH. Ahmad Mutamakkin dari Kajen dengan Kětib Anom Kudus. KH. Ahmad Mutamakkin dituduh mengajarkan paham manunggaling kawula lan gusti yang dianggap sarat dengan paham hulül dan ittihād. Zainul Milal dalam Syekh Mutamakkin: Perlawanan Kultural Agama Rakyat menunjukkan adanya konflik antara paradigma Sunnisme yang menekankan pada aspek struktural formalisme dan paradigma kultural yang didasarkan pada fenomologi dalam menafsirkan ajaran-ajaran mistis Islam-Jawa yang bercorak Sufi-Tantrik pada Serat Dewa Ruci. Sěrat Cěbolek berupaya menunjukkan keunggulan interpretasi Sunnisme atas Serat Dewa Ruci yang disampaikan Kětib Anom Kudus untuk membantah ajaran-ajaran mistisme tasawuf yang diajarkan oleh KH. Ahmad Mutamakkin. Kětib Anom Kudus disebut mampu untuk menyampaikan interpretasi yang didasarkan pada doktrin-doktrin tasawuf Sunni terhadap kisah Dewa Ruci sehingga membuat KH. Ahmad Mutamakkin tidak dapat membantah argumentasi yang disampaikan dan menarik kembali pemahamannya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Uraian dalam Sěrat Cěbolek tersebut justru tidak sesuai dengan yang diyakini oleh para Santri dan masyarakat Kajen  bahwa Kětib Anom tidak memiliki pengetahuan tasawuf yang memadai dan tidak mampu menguraikan ajaran-ajaran dalam Serat Dewa Ruci, justru KH. Mutamakkin yang secara jelas mampu menguraikan ajaran-ajaran dalam Serat Dewa Ruci.

Tradisi lisan yang berkembang di kalangan masyarakat Kajen juga menguraikan bahwa perdebatan antara KH. Ahmad Mutamakkin dan Kětib Anom Kudus tentang Serat Bima Suci dapat dimenangkan oleh KH. Ahmad Mutamakkin, bahkan Pakubhuwono II berbalik mengakui kealiman KH. Ahmad Mutamakkin dan berguru kepadanya.

Pertentangan antara paradigma Sunnisme yang menekankan pada struktural formalisme melalui nalar legalistis teks-teks keagamaan yang otoritatif dan paradigma kultural yang didasarkan pada fenomologi sebagai dasar bagi konseptualisasi praksis keagamaan menunjukkan hubungan kuasa. Paradigma Sunnisme dianggap sebagai sumber otoritas bagi tatanan pengamalan ajaran Islam yang ortodoks, sedangkan paradigma kultural dalam bentuk konseptualisasi sintesis mistis dalam Islam-Jawa dianggap sebagai bentuk heterodoksi yang dalam konteks Islamisasi-Jawa tidak terlepas dari pengaruh unsur-unsur ajaran Jawa pra-Islam.

Pertentangan paradigma keagamaan di kalangan masyarakat Islam-Jawa antara kalangan Santri dan Priyayi menghasilkan sikap penerimaan terhadap tradisi Islam-Jawa yang berbeda. Kalangan Santri sebagai representasi ortodoksi Sunni menganggap bahwa penerimaan terhadap unsur-unsur kultural Islam-Jawa tidak diperlukan dalam pengamalan praksis keagamaan. Hal ini disebabkan ajaran-ajaran Islam semata-mata harus disandarkan kepada teks-teks otoritatif terutama yang berasal dari kalangan Salaf. Sementara kalangan Priyayi justru sebaliknya menganggap penerimaan terhadap tradisi Islam-Jawa merupakan keniscayaan sebagai hasil konseptualisasi pengamalan ajaran-ajaran dalam masyarakat Islam-Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari anasir-anasir Jawa pra-Islam. Sebagai implikasinya, kalangan Santri cenderung menganggap unsur-unsur tradisi Islam-Jawa hanya dapat diterima melalui konsiderasi ‘urfiyah yang tidak terlepas dari nalar struktural formalisme yang legalistis dengan tetap menekankan otoritas teks (nash). Praktik-praktik tradisi Islam-Jawa yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan norma legalistis teks-teks keagamaan yang otoritatif dianggap sebagai bid’ah (heresy). Sehingga tidak jarang kalangan Santri menganggap paradigma Islam-Jawa yang bercorak mistisme kejawen sebagai heterodoksi yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam secara prinsipil.

Paradigma Sunnisme yang menganggap identitas kultural Islam-Jawa sebagai heterodoksi terlihat dalam pengembangan sejumlah teks-teks Islamisasi Jawa yang bercorak ortodoks seperti Kropak Ferrara, Serat Niti Mani dan Sěrat Cěbolek yang berupaya menunjukkan bahwa ajaran-ajaran teosofi Islam-Jawa seperti paham Monisme atau manunggaling kawula lan gusti sebagai ajaran heterodoks dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sejumlah teks tersebut alih-alih mengangembangkan diskursus skolastik perbedaan paradigma keagamaan, justru menunjukkan penggunaan otoritas keagamaan dan pemerintahan dalam menentang dan menekan ajaran-ajaran Islam-Jawa yang dianggap heterodoks agar tidak tersebar dan mengancam legitimasi Islam-Sunni dan kekuasaan para aristokrat yang mendapat dukungan para Wali. Pandangan serupa juga muncul dalam teks-teks korespondensi para ulama Sunni dari Jawa dengan para ulama terkemuka di Hijaz. Para ulama Hijaz seperti Ibrahīm ibn Hasan Al-Kûrānī dan ‘Abd. Al-Ghanī ibn Isma’il al-Nāblusi al-Damsyiqī dengan didasarkan keterangan yang disampaikan para ulama Jawi menyimpulkan bahwa terjadi penyimpangan dalam paradigma kultural Islam-Jawa terutama yang terkait dengan adanya sintesis mistis yang menghasilkan ajaran teosofi Sufi-Tantrik.

            Perbedaan paradigma keagamaan sebagaimana yang dijelaskan di atas menimbulkan segregresi identitas antara kalangan masyarakat Islam-Jawa di pesisir Utara seperti Gresik dan Tuban yang sangat dipengaruhi oleh konstruksi ajaran-ajaran ortodoksi Sunni yang berupaya menekankan praksis keagamaan yang bersumber pada teks-teks keagamaan yang otoritatif dan menjauhi berbagai praktik yang dianggap heterodoks yang berkembang melalui sintesis mistis di kalangan masyarakat Jawa. Sementara masyarakat Islam-Jawa di pedalaman Selatan melalui konseptualisasi pengamalan ajaran-ajaran Islam yang sarat unsur-unsur Jawa pra-Islam, tetap mempertahankan tradisi kultural dalam praksis keagamaan sebagai bagian dari ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses dialektika antara ajaran-ajaran Islam dan tradisi kultural. Tidak jarang unsur sintesis mistis seperti yang telah dijelaskan merupakan identitas tersendiri bagi kalangan Islam-Jawa di pedalaman Selatan yang menjadikannya sebagai varian tersendiri dalam pengamalan praksis ajaran Islam.****

 

Penulis. Syamsul Idul Adha (Lecture di Universitas Islam Negeri Al-Raniri, Banda Aceh).

 

Daftar Pustaka

Addiarrahman. Membedah Paradigma Ekonomi Islam: Rekonstruksi Paradigma Ekonomi Islam Berbasis Kearifan Lokal. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.

Adha, Syamsul Idul. “Kropak Ferrara: Reconsidering The 16th Century Javanese Muslim Identity.” Jurnal Tashwirul Afkar 40, No. 1 (2021): 67-98.

Alatas, Sayed Farid, “Notes on Various Theories Regarding The Islamization of The Malay Archipelago.” The Muslim World 75, No. 3 (1985): 162-175.

Al-Ghazali. Al-Mankhūl min Ta’līqāt al-Uūl.

Asy’ari, Muhammad Hasyim. Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah: Analisis Tentang Hadits Kematian, Tanda-tanda Kiamat, dan Pemahaman Tentang Sunnah dan Bid’ah. Jakarta: LTM PBNU, 2011.

Az-Zabidi, Muhammad ibn Muhammad Al-Husain. Ithāf as-Sāddah al-Muttaqīn bi Syarh Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, vol. 2, Beirut: Dār Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, t.th.

Braginsky, Vladimir. “The Manner of The Prophet-Concealed, Found and Regained,” Indonesia and The Malay World 45, no. 132 (2017): 250-291.

Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy. London: Kegan Paul International, t.th.

de Boer, T.J. The Histoory of Philosophy in Islam, trans. Edward R. Jones. New York: Dover Publications, 1967.

Drewes, G.W.J. Perdebatan Walisongo Seputar Makrifatullah. Surabaya: ALFIKR, 2002.

Geertz, Clifford. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu, 2014.

Gusmian, Islah. “Pemikiran Tasawuf Syekh Ahmad Mutamakkin: Kajian Hermeneutik atas Naskah ‘Arasy Al-Muwaḥḥidīn.Jurnal Lektur Keagamaan 2, no. 1 (2013): 57-90.

Johns, A. H. “Sufism as A Category in Indonesian Literature and History.” Journal of Southeast Asian History2, No. 2 (1961):10-23.

Maretha, & Suminto. Mengungkap Siasat Walisanga: Mengislamkan Jawa dengan Vedanta Jakarta: Majapahid Nusantara, 2017.

Ricklefs, M. C. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Jakarta: Serambi Ilmu, 2013.

Ricklefs, M.C. “Islamization in Java: Fourteenth to Eighteenth Centuries,” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, and Yasmin Hussain, eds., Readings on Islam in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1985.

Rinkes, D.A. Nine Saints of Java. Kuala Lumpur: Malaysian Sociological Research Institute, 1996.

Rosyid, Abdul. Analisis Semiotik dalam Buku Pakem Kajen Syaikh Mutamakkin. Skripsi: Jurusan Aqidah dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Walisongo, 2015.

Soebardi, S. The Book of Cabolèk: A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes A Contribution to the study of the Javanese Mystical Tradition. Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 1975.

Sya’ban, A. Ginanjar. Mahakarya Islam Nusantara: Kitab, Naskah, Manuskrip dan Korespondensi Ulama Nusantara. Tangerang: Pustaka Compass, 2017.

van Leur, J. C. Perdagangan & Masyarakat Indonesia: Esai-esai Tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.

Woodward, Mark R. The Shari’ah and The Secret Doctrine: Muslim Law and Mystical Doctrine in Central Java. Thesis Dissertation: University of Illinois, 1985.

Artikel ini telah dibaca 53 kali

Baca Lainnya

Hijrah, Kritik Atas Doktrin Kelompok Jihadis dan Prinsip Kebebasan

8 Juli 2024 - 09:27 WIB

Menyambut Tahun Baru Islam dan Menafsirkan Kembali Semangat Hijrah Nabi

7 Juli 2024 - 07:23 WIB

H. Suraji : Tentang Keutamaan Bulan Suci Ramadan

7 Maret 2024 - 19:10 WIB

H. Suraji: Tentang Bulan Sya’ban

22 Februari 2024 - 18:14 WIB

H. Suraji : Tentang Berbuat Ihsan

10 Januari 2024 - 10:02 WIB

Mengenal Efek Mandela: Apa yang terjadi saat ingatan semu menjadi nyata?

11 September 2023 - 18:05 WIB

Trending di Beja+