Menu

Mode Gelap
Mengetahui Sistem Pertahanan Iron Dome Israel

Kolom


Berebut Suara NU dan Soal Politik Praktis

- berebeja.com
13 Sep 2023 06:17 WIB


 Ilustrari foto : sumber NU Online. Perbesar

Ilustrari foto : sumber NU Online.

Nahdlatul Ulama (NU) menjadi rebutan partai politik dan para politisi di tanah air tak lain mereka hendak mengambil ceruk dari basis organisasi Islam terbesar ini, suara NU memang sangat signifikan dengan memiliki elektoral yang tidak sedikit. Sejumlah survei menyebut jumlah warga NU mencapai 50 juta-an, sedangakan menurut laporan SMRC total warga yang mengaku sebagai anggota NU sebesar 20,3 persen atau sekitar 40-an juta lebih, survei tersebut dilakukan SMRC Desember 2022. (Lihat https://saifulmujani.com/partai-dan-politisi-berebut-ingin-jadi-nu/)

Tak heran jika warga NU menjadi daya tarik bagi partai politik di Indonesia untuk mendapat elektoral dari organisasi massa Nahdlatul Ulama. Angka ini, menurut laporan tersebut di luar masyarakat yang secara kultural mengikuti praktik ritual keagamaan NU. Jika kelompok kultural NU disatukan, masih kata laporan itu, maka massa NU akan menjadi jauh lebih besar. Karenanya banyak partai politik dan politisi ingin manjadi bagian dari warga NU atau disebut sebagai anggota NU dan semua merasa ingin selalu dekat dengan NU.

Politik di Indonesia bisa dibilang didominasi oleh politik aliran. Oleh karena itu NU menjadi organisasi  dengan aliran Islam tradisional yang kuat dan solid. Karena itu pada masa pemerintahan orde baru suara NU digembosi. Pemerintahan orde baru tahu bahwa massa NU cukup besar, bila tidak melakukan penggembosan, kekuasan otoriter orde baru akan terganggu.

Jika dilihat dari sejarah politik Indonesia pada Pemilu 1955, NU menjadi pemenang nomor tiga. Kala itu NU adalah partai dan ormas sekaligus, partai NU dan Ormas NU itu identik. Meski sebagai pemenang nomor 3 NU memiliki basis massa yang homogen, NU menjadi ormas yang memilki khas yang solid. Oleh sejumlah sarjana, NU sering disebut sebagai subkultur Islam Indonesia yang cukup solid. Karennya NU cukup penting secara elektoral bagi partai-partai politik dan politisi di Indonesia.

NU pernah menjadi partai politik, ketika hari ini sudah tidak menjadi partai politik suka atau pun tidak, sikap jam’iyah NU menjadi teka-teki banyak pihak menunggu arah politik NU di tahun 2024. Meski Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) berkali-kali ia mengatakan NU bukan partai politik, dan tidak ada yang mewakili NU dalam kontestasi politik 2024, karena NU bukan partai politik. Akan tetapi, keniscayaan tokoh-tokoh yang diangap mewakili atau dipersepsikan sebagai representasi dari NU akan terus menjadi rebutan partai politik dan politisi untuk mendapat elektoral, suatu yang tidak bisa dihindari.

Konstelasi politik pilpres 2024 baru-baru ini telah terjadi perubahan peta politik. Terutama bisa dibilang guncangan besar terhadap koalisi perubahan (NasDem, PKS dan Demokrat) atas deklarasi bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.

Bagaimana pun Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu dipersepsi publik bisa dibilang sebagai representasi massa Nahdliyin, hal ini tentu menjadi perhitungan yang tak bisa dibilang enteng oleh Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Karena itu Prabowo Subianto segera memperlihatkan pertemuan dengan tokoh NU lain seperti bertemu dengan Yenny Wahid puteri mendiang Gus Dur di Kartanegara. Hal itu dilakukan mungkin ingin menepis impak dari deklarasi Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Yenny Wahid sebagai tokoh NU bagi partai politik dan politisi, sangat penting untuk merapat kepada puteri mendiang Gus Dur ini, karena ia merupakan bagian dari yang dipresepsi bagian dari representasi NU, bagi para elit politik ini penting menggadang-gadang Yenny Wahid untuk kontestasi 2024 demi meraih elektoral dari warga NU.

Pada saat yang sama Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memberi pernyataan tegas bahwa NU bukan partai politik, untuk tidak didorong-dorong kepada ranah politik prakstis. Meski ada sejumlah tokoh-tokoh NU yang maju dalam kontestasi politik di 2024 merupakan atas nama pribadi mereka, bukan atas nama NU.  “Jangan ada calon mengatasnamakan NU. Kalau ada calon mengatasnamakan (NU), kredibilitasnya atas nama perilakunya sendiri-sendiri, bukan atas nama NU,” kata Gus Yahya dalam keterangannya di kantor PBNU, Jakarta, Sabtu (2/9/2023).

Alih-alih jam’iyah NU telah tercerabut dari akar politik praktis, bagi partai-partai dan politisi di Indonesia sangat perlu dan signifikan meraup elektotaral dari warga NU, karena memang cukup besar suara warga NU secara kuantitatif. Kekuatan politik massa NU cukup diperhitungkan dalam sistem elektoral seperti saat ini, suara massa pada sisi jumlah dalam politik model demokrasi sangat penting terhadap suara representasi NU dalam memenangkan kontestasi politik, ada adagium yang menyebut “suara massa suara Tuhan”.

Karena itu tidak salah jika ada yang mengatakan representasi suara warga NU menentukan masa depan Indonesia. Meski untuk tidak menyebut tokoh-tokoh NU yang dianggap mewakili representasi NU tersebut sebagai penentu dalam memenangkan kontestasi politik 2024, karena politik di Indonesia akan selalu cair dan selalu dinamis.***

WS Abdul Aziz (Alumni PP Al-Asyiqien dan Katib MWCNU Cicendo Kota Bandung

 

Artikel ini telah dibaca 58 kali

Baca Lainnya

Merebut Suara NU di Pilwalkot Bandung 2024

3 Oktober 2024 - 05:30 WIB

Integritas Pebisnis

12 September 2024 - 07:07 WIB

Pentingnya Memakmurkan Masjid

6 September 2024 - 05:25 WIB

Menjadi Masyarakat Pengkritik dan Pengontrol Parlemen

8 Agustus 2024 - 13:49 WIB

Hijrah, Kritik Atas Doktrin Kelompok Jihadis dan Prinsip Kebebasan

8 Juli 2024 - 09:27 WIB

Menyambut Tahun Baru Islam dan Menafsirkan Kembali Semangat Hijrah Nabi

7 Juli 2024 - 07:23 WIB

Trending di Beja+