Bandung, berebeja.com – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Polri Ahmad Nurwakhid mengatakan munculnya kelompok radikal bisa dicirikan dengan memilki sikap ekslusif dan intoleran terhadap keragaman.
“Radikal atau ekstrem ciri-cirinya biasanya mengkafirkan mereka yang berbeda, tidak hanya beda agama, tapi beda kelompok, beda paham, bahkan sesama agama pun dikafir-kafirkan.” ujarnya, dikutip dari Antara dalam diskusi bertajuk ‘Perempuan Teladan, Optimis dan Produktif (TOP) Viralkan Perdamaian dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme’ di Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu (28/05/2022).
Radikalisme adalah perubahan menuju terorisme sebab radikalisme merupakan paham yang meyakini semua aksi terorisme.
Oleh karena itu, Ahmad Nurwakhid mengajak semua pihak, mampu membentengi keluarga, lingkungan dan masyarakat dari paham radikal, serta menanamkan sejak dini menanamkan kecintaan terhadap NKRI.
“Membentengi dari paham-paham asing yang bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Disamping itu memperkuat kecintaan terhadap Tanah Air dan ideologi bangsa yaitu Pancasila,” lanjutnya.
Namun demikian, ia menjelaskan indeks potensi radikalisme yang mencapai 12,2 persen tersebut didominasi generasi milenial.
Selain itu, beliau menambahkan indeks risiko terorisme (IRT) pada 2021 juga telah turun menjadi 52,22 persen atau melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang sebesar 54,36 persen.
Berkat kemapuan para penceramah moderat untuk hadir di dunia maya, Nurwakhid menyebut indeks potensi radikalisme di Indonesia berdasarkan hasil survei tahun 2020 turun menjadi 12,2 persen dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 55,2 persen.
“Mereka (para penceramah) yang mayoritas moderat cukup mengimbangi konten-konten keagamaan di dunia maya (yang intoleran dan radikal),” katanya.
Nurwakhid menuturkan bahwa konten keagamaan yang tersebar di dunia maya dan biasa diakses masyarakat di Indonesia, 67,7 persen di antaranya merupakan konten keagamaan bernuansa intoleran dan radikal.
“Begitu ada pandemi, para kiai, penceramah, maupun pendeta yang selama ini diam, tidak viral tetapi karena ada prokes mereka mau tidak mau menggunakan sarana gadget (untuk dakwah),” tandasnya. ***
Editor : Asma Mutie
Sumber : ANTARA