Bandung, berebeja.com – Saya pernah membaca sebuah buku yang menurut saya menarik berjudul Poetics Of Islamic Historiography Deconstrucing Tabari’s History (2004), tulisan tersebut ditulis oleh Boaz Shoshan. Dalam tulisannya ini Boaz ingin mengungkapkan bagaimana At-Tabari sebagai sejarawan Islam bisa mendapatkan posisi istimewa yang dimana orang-orang Barat memuji at-Tabari.
d’Herbelot misalnya, mengutip Boaz, Herbelot menulis dalam Bibliotheque orientale, memuji At-Tabari, ” “the most famous of all Tabari’s on account of the general History from the creation of the world to the time in which he lived that was published by him”. Dan bahkan Boaz sendiri pun memuji karya at-Tabari yang sangat momumental dalam ilmu sejarah yaitu Tarikh ar-Rusul wa’l -muluk, yang kata Boaz, “undoubtedly one of the classic works of Islamic culture, requires no elaborate apologia as a choice for scholarly analysis.”
Dari kajian Boaz dan pujian d’Herbelot sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk lebih mengenal ulama dan karya-karya seperti At-Tabari ini.
Mengenal Al-Tabari
Muarikh , Mufassir, al-Imam Abu Ja’far bin Jarir bin Yazid bin Khalid al-Tabari lahir di suatu daerah pegunungan, penduduknya ahli dalam peperangan di kota Amul, Tabarsitan. Para Sejarawan mengungkap perselisihan tahun kelahirannya ada yang menyebut 224 H/839 M dan ada juga yang berpendapat 225 H/ 840 M.
Ayahnya bernama Jarir seorang saudagar sederhana yang mencintai ilmu dan ulama, kecintaannya pada ilmu terbuktikan setelah bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Atas dorongan sang Ayahlah al-Tabari giat dalam menuntut ilmu, di umurnya yang sangat muda beliau -rahimahullah- sudah hafal al-Quran, di saat umur 12 tahun beliau -rahimahullah- rihlah menuju kota Ray, dekat Tabaristan.
Ketika umur 17 tahun al-Tabari mempelajari ilmu hadits,ilmu fikih, dan ilmu Quran kepada guru-gurunya Syaikh Abu Kuraib Muhammad bin ‘ala al-Hamdani dan belajar Qiraat kepada Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman bin Hamad yang berada di Tanah Bagdad.
Setelah itu al-Tabari menuntut ilmu hadits kepada Ibrahim bin al-Juzani yang berada di Damasksus, dan Abbas bin al-Walid al-‘Azy yang berada di Beirut. Setelah itu al-Tabari berjalan menuju Mesir mengambil ilmu dari Abu al-Hasan Siraj al-Masri pada tahun 253 H, kemudian al-Tabari mempelajari Qiraat dan mengambil riwayat Syamsiyin (yang diriwayatkan oleh orang-orang Syam) kepada Abbas bin Walid al-Birutti di Syam. Dan kembali lagi ke Mesir, hal ini beliau manfaatkan untuk belajar Ilmu Sejarah dan mazhab fikih Syafi’i dan Maliki.
Kemudian al-Tabari mengambil ilmu kepada Ismail bin Ibrahim, Muhammad bin Abdullāh bin Hakam, dan para ulama lainnya di Bagdad yang kemudian menjadi tempat menetap al-Tabari dan disinilah beliau -rahimahullah- produktif sehingga menghasilkan karya.
Al-Tabari dikenal dengan kepintaran dan keshalehannya. Syaikh Muhammad bin Shalih ash-Shuiri dalam kitabnya Kaifa Tatahammas Li Tholibil Ilmi Syari’ , menceritakan suatu peristiwa dimana ketika itu al-Tabari bertanya pada murid-muridnya., “Apakah kalian siap menulis sejarah dari Nabi Adam hingga sekarang” kemudian para sahabatnya tersebut bertanya, “berapa lembar?” dan lalu al-Tabari menjawab, ” Tiga Puluh Ribu Halaman” , sahabatnya pun berkata,” itu akan menghabiskan umur kita sebelum kita bisa menyelesaikannya”, dan al-Tabari berkata,” La haula walla quwwata illabillah.. Sungguh semangat kalian telah mati”
Al-Tabari menghabiskan waktunya dengan beribadah, membaca, menulis,dan menjauhkan dirinya dari jabatan negara, di Bagdad inilah beliau -rahimahullah- meninggal dunia pada tahun 310 H/ 923 M.
Posisi Al-Tabari dalam Historiografi Islam
Historiografi yang memiliki arti penulisan sejarah, tulisan sejarah, atau sejumlah literatur yang memiliki keterkaitan dengan ilmu sejarah (Ajid Thahir, 2018: 24) . Dan Historiografi Islam sendiri menurut Badri Yatim (1997:5-6) , penulisan sejarah Islam yang didahului terhadap peristiwa dimasa silam.
Sama halnya Badri, Muin Umar (1977:7) menyebut Historiografi Islam sebagai penulisan sejarah Islam meliputi permulaan penulisan sejarah Islam.
Masih mengutip Ajid Thahir, terminologis Historiografi Islam ini mengalami perbedaan antara H.A.R Gibb dan Franz Rosenthal. Gibb lebih menyamakan historiografi Islam dengan ilmu Tarikh sedang Rosenthal menyebut sejarah Islam yang ditulis oleh penganut agama Islam dari setiap alirannya. Perbedaan dari keduanya tidak perlu di pertentangkan karena memiliki keterkaitan hubungan dengan sejarah dan model-model penulisannya.
Kajian Historiografi ini menurut Ajid Thahir (2018:26) sangat bermanfaat untuk menyoroti isi filosofis dan teoritis dari karakter penulisan sejarah, termasuk dari weltanscauung sejarawan.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya historiografi Islam, Muin Umar (1977:8) membagikan garis besarnya kepada empat periode : 1. Sejak awal mula hingga abad ketiga hijriyah, 2. Dari abad ketiga hingga abad keenam hijriyah,3. Darinabad keenam sampai abad kesepuluj hijriyah,dan 4. Dari abad kesepuluh sampai abad ketiga belas hijriyah.
Di abad ketiga hijriyah inilah al-Tabari menulis historiografi Islam yang mengutamakan agama, disebut oleh Muin Umar (1977:21), ” Muhammad bin Jarir al-Tabari dalam kitabnya berjudul Tarikh al-Rusul wal Muluk. Al-Tabari pada dasarnya adalah seorang ahli tafsir, dan kitab sejarahnya terutama bertujuan untuk melengkapi kitab tafsirnya, dan mengemukakan hikayat-hikayat sejarah dalam Islam ditambah kritik-kritik sebagaimana yang dilakukan terhadap karya-karya terdahulu. Kitab tersebut terdiri dari beberapa jilid besar yang sampai sekarang banyak dipergunakan ahli sejarah sebagai sumber pokok dalam penulisan sejarah Islam.”
Kitab Tarikhnya ini, sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Rusydi dan Siti Zolehah, bahwa al-Tabari memiliki pembahasan yang panjang, informasi yang luas,dan sumber yang luas. Dalam karya lainnya al-Tabari terjaga sanadnya sehingga informasi dari orang-orang bisa dikuatkan dengan riwayatnya.
Imam Ibnu Jarir al-Tabari ini yang mengawali penulisan Historiografi Islam dengan unsur agama karena sebelumnya seperti Ibnu Wadih al-Yaqubi (w.282/895) dan Abu Hanifah al-Dinawari (w.282/895) tidak memasukkan unsur agama. Tetapi yang mengawali itu adalah al-Tabari dengan kelebihannya terjaga sistem isnad karya sejarah yang sulit untuk di contoh. ***
Daftar Bacaan:
- Boaz Shoshan. Poetics Of Islamic Historiography Deconstrucing Tabari’s History. Leiden, 2004.
- Drs. A. Muin Umar. Pengantar Historiografi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
- Muhammad bin Shalih ash-Shuiri, Kaifa Tatahammas Li Tholibil Ilmi Syari, Riyadh, 1420.
- Ajid Thahir, dkk. Historiografi dan Sejarah Islam Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M UIN Sunangunung Djati, 2008.
- Ibnu Rusydi dan Siti Zolehah. Al-Tabari dan Penulisan Sejarah Islam: Telaah atas kitab Tarikh wa al-Muluk karya al-Tabari. Al-Afkar Journal for Islamic Studies, vol.2 no.1 July 2018.
Penulis :
Muhammad Akmal Firmansyah, ( Pegiat LSIF, Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam di UIN Sunan Gunung Djati Bandung)