Menu

Mode Gelap
Mengetahui Sistem Pertahanan Iron Dome Israel

Kolom


Isra Miraj : Meneguhkan Iman, Menguatkan Spiritualitas dan Menguji Kesetiaan

- berebeja.com
26 Feb 2022 20:51 WIB


 Isra Miraj : Meneguhkan Iman, Menguatkan Spiritualitas dan Menguji Kesetiaan Perbesar

BANDUNG, berebeja.com – Setiap tanggal 27 Rajab dalam penaggalan tahun Hijriah, masyarakat muslim di Indonesia merayakan peringatan Isra-Mi’raj, dan negara juga, memberi tanda hari libur nasional pada tanggal 27 Rajab, atau tanggal merah di kalender masehi. Sedimikian penting Isra dan Mi’raj bagi kaum muslimin di Indonesia, bahkan di dunia Islam secara umum.

Semarak peringatan Isra dan Mi’raj, setiap tahun diperingati oleh banyak masyarakat Islam di Indonesia, di kota-kota besar, terlebih di desa-desa, mereka sangat antusias merayakan peringatan hari besar Islam tersebut, dengan mengadakan acara pengajian-pengajian di masjid-masjid dan tablig akbar di berbagai tempat, ini menjadi keberkahan tersendiri pagi para penceramah agama, setiap bulan Rajab tiba, banyak undangan ceramah dalam rangka memperingati Isra-Mi’raj (Rajaban, dalam istilah tradisi Sunda).

Bulan Rajab, menjadi tradisi spirit keagamaan, di samping itu juga terjadi akulturasi budaya dan agama, sehingga mempererat ikatan persaudaraan sesama umat Islam, lebih jauh  sebagai penghormatan kaum muslim akan kecintaan pada Nabi Muhammad SAW, yang mana telah membawa peristiwa tersebut sejak ribuan tahun silam.

Oleh karena itu, sepanjang sejarah kaum muslmin di Indonesia maupun dunia Islam lainnya, senantiasa menjaga spirit peristiwa Isra-Mi’raj. Yakni,seperti perintah shalat 5 waktu, yang mana diwajibkan bagi penganut Islam. Kewajiban tersebut sebelum peristiwa Isra-Mi’raj itu, shalat 5 waktu itu tidak diwajibkan. Menurut seorang ulama tafsir asal Qordoba, Abu Bakar Al-Qurtubi (w.671 H), ia mengatakan, para sarjana muslim dan sejarawan Islam semua sepakat, bahwa shalat 5 waktu itu diperintahkan sejak pertama peristiwa Isra-Mi’raj. Masih menurtut Al-Qurtubi, ini merupakan pendapat nash yang shahih. (Tafsir al-Qurtubi,hlm.14.Juz.13. Cet. Muasasah al-Risalah)

Sebenarnya apa Isra dan Mi’raj,? dan bagaimana sejarah peristiwa tersebut terjadi ?Ada banyak literatur Islam menjelaskan soal ini. Jika, merujuk pada penjelasan seorang mufasir kelasik Islam misalnya, al-Zamakhsyari (w.538 Hiriah), diantaranya ia menyebutkan makna Isra, secara etimologi ada dua bahasa “perjalanan”, dan “memperjalankan” karena itu dalam terminologi Alquran dalam surat al-Isra ayat pertama, memakai kata “Asra”, yang artinya “Aku Telah meperjalankan” maksudnya Tuhan meperjalankan Nabi Muhammad Saw di malam hari dari Masjid Al-Haram ke Ke Masjid Al-Aqsha, sedangkan dalam riwayat-riwawat hadis menjelaskan memperjalankan lewat perantara Malaikat Jibril. Ada banyak  riwayat menjelaskan soal ini. Sedangkan Mi’raj secara etimologi adalah “naik”, dan secara terminologi ialah naiknya Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Al-Aqsha di Palestina, menuju Sidratul Muntaha untuk mendapatkan perintah langsung kewajiban ibadah shalat dari Allah SWT.

Peristiwa Isra-Mi’raj, merupakan puncak kearifan, dan puncak kedudukan yang tinggi bagi Nabi Muhammad SAW yang diberikan oleh Allah. Fakhrudin al-Razi (w.606 H) menulis pragmen menarik dalam karyanya yang berjudul Tafsir al-Kabir, tentang dialog Tuhan dengan Muhammad SAW, sebelum diturunkan surat Al-Isra ayat pertama itu, yang ia tulis berdasarkan kutipan dari perkataan Syaikh  Imam al-Walad Umar Ibn Al-Husain, yang menjelaskan, bahwa Mi’raj, murupakan puncaknya kedudukan, setinggi-tingginya kedudukan bagi Nabi Muhammmad SAW, yang di wahyukan Allah  kepada Muhammad SAW. Pada saat itu terjadi Muhammad SAW di tanya oleh Allah, “hai Muhammad dengan apa aku harus membahagiakan  dirimu? Muhammad menjawab, sematkanlah pada diriku, menuju-Mu dengan kendaraan untuk mendekatkan diri kepada-Mu (al-‘Ubudiyah). (Tafsir al-Kabir, hlm.134. Juz. 20. cet. Darul Ihya al-Turats al-‘Arabi).

Oleh karenanya kekuatan dalam pristiwa Isra dan Mi’raj itu adalah masalah shalat. Banyak para sajana Islam klasik menyebut peristiwa Isra-Mi’raj, di samping puncak kearifan, juga sebagai penghibur nabi, yang sebelumnya mengalami banyak guncangan hidup , hari-harinya diliputi rasa sedih, para sejarawan Islam menyebut sebagai ayamul hazn, hari-hari menyedihkan.

Pada malam 27 Rajab tiga tahun sebelum Hijrah Nabi merenung menyendiri di depan Ka’bah, tepatnya di samping Hijir Ismail di dalam Masjid Al-Haram, merenungkan rasa sedih yang dialaminya, diantaranya kepergian, Abu Thalib, Khadijah dan cobaaan lainnya.

Menurut banyak riwayat, ketika malam peristiwa Isra dan Mi’raj, Nabi Muhammad mengisahkan, tentang peristiwa Isra dan Mi’raj panjang lebar, bahkan terjadi banyak dialog dengan Jibril, yang tidak mungkin penulis tulis diruang terbatas ini, namun kira-kira singkatnya begini,  bahwa  nabi Muhammad SAW pada malam itu mungkin antara teridur dan terbangun (al-Naam Wa al-Yaqdzaan) ketika sedang bersandar di bilik Hijir Ismail depan Ka’bah, tiba-tiba kedatangan malaikat Jibril, membawa kendaraan al-Buraq, kendaran tersebut tepat di hadapan Nabi, lalu Malaikat Jibril berdiri persis di depan pintu Masjid, bersamanya sebuah kendaraan, selanjutnya membawa nabi Muhammad SAW berangkat dari Masjid al-Haram di Makah menuju Masjid al-Aqsha, di Palestina, yang selajutnya Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Ada banyak peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW menuju Sidratul Muntaha , terjadi banyak dialog dengan para nabi-nabi dan rasul sebelumnya, seperti dialog dengan nabi Idris, Musa, Ibrahim, Shalih dan lain-lain di setiap pintu-pintu langit itu, dalam kitab-kitab klasik Islam atau teks-teks hadis  ada banyak meriwayatkan soal kisah-kisah tersebut.

Peristiwa Isra dan Mi’raj, memang menjadi polemik banyak penduduk kota Mekah, khusunya suku Qurasy pada waktu itu. Peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan peristiwa di luar jangkauan akal manusia. Kala itu, penduduk kota Mekah dalam menyikapi peristiwa tersebut terbelah, ada sedikit yang percaya pada peristiwa Isra dan Mi’raj, ada juga sikapnya biasa saja, dan bahkan dari kebanyakan menolak soal peristiwa Isra dan Mi’raj. Kisah Isra dan Mi’raj  diceritakan oleh nabi Muhammad SAW secara langsung, beliau  menceritakan atas apa yang pernah  dialaminya, satu malam bisa berangkat ke Baitul Maqdis di Palestina dari Masjid Haram yang berada di Mekah, bahkan dari Baiul Maqdis berangkat sampai ke langit, yang hanya ditempuh dalam waktu singkat, yaitu hanya satu malam (lailan).

Peristiwa Isra-Mi’raj, memang menguji Iman manusia, akan kebesaran dan tanda-tanda Allah SWT serta kenabian Muhammad, peristiwa itu sekaligus menundukan akal manusia yang sangat terbatas menjangkaunya, peristiwa Isra Mi’raj hanya bisa difahami oleh wilayah spritual dan Iman. Oleh karennya dalam peristiwa Isra dan Mi’raj, yang di bawa oleh nabi Muhammad adalah perintah untuk mendekat diri pada Tuhan setiap hari dalam 5 waktu. Kedudukan shalat 5 waktu, lewat pendekatan peristiwa Isra dan Mi’raj, perintah yang sangat istimewa, menjadi istimewa, karena perintahnya langsung menghadap sang ilahi, nabi Muhammad mendapat mandat tanpa perantara lain, di Sidratul Muntaha, sebagaimana nabi Musa sebelumnya, pernah menerima ajaran langsung dari Tuhan, di bukit Tursina.

Isra dan Mi’raj, menjadi jalan spiritual bagi hamba-Nya dan sekaligus untuk memperkokoh iman manusia kepada Sang Pencipta dan meperkuat iman terhadap kenabian Muhammad SAW.  Namun, sejarah mencatat gelombang penolakan terhadap peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, kala itu tidak sedikit, ada banyak penduduk Qurasy yang semula iman pada Muhammad, tak sedikit kembali kepada keyakinan yang lama, yang sebelumnya beriman pada Muhammad SAW, hanya ada beberapa sahabat nabi yang tetap percaya tentang peristiwa tersebut, mereka tetap iman kepada Muhammad SAW. Menariknya, walau begitub banyak  yang mencemooh peristiwa tersebut,  namun Nabi Muhammad SAW, tidak merespon dengan kasar pada orang-orang yang mencibir cerita  tentang Isra dan Mi’raj. Bahkan sejumlah sahabat yang masih setia kepada  nabi Muhammad SAW,  sama tidak merespon berlebihan.

Peristiwa Isra dan Mi’raj, telah banyak memberi pesan pada umat manusia, juga telah banyak menuntun pada nilai-nilai akhlaq yang luhur, tentang kesetian, jalan spiritual agama yang menyejukan, meneguhkan prinsip keyakinan, dan nila-nilai kepasarahan serta kesabaran kepada ilahi, mengajarkan banyak hal tentang kepasrahan yang harus kita petik, mengajarkan harus kepada siapa kita harus bersandar, dan mengajarkan untuk percaya kepada orang yang memiliki keteguhan dalam prinsip Iman.***

 

Penulis. WS Aziz. (Jurnalis dan Koordinator Program di Forum Jurnalis Jabar)

 

Daftar Bacaan :

 

  1. Al-Qurtubi, Abu Bakar. 2013. Al-Jaami’ al-Ahkam al-Quran. Muasasah al-Risalah. Damaskus.
  2. Al-Zamakhsyari. Tt. Tafsir Al-Kasyaf. Darul Ma’rifah. Bairut.
  3. Darwajah, Izat Muhammad. 2000. Tafsir al-Hadis. Darul Gharb. Tunisia.
  4. Al-Qurtubi, Ibnu Hayan.2015. Tafsir Bahrul Muhith. Darul Risalah al-Alamiyah. Bairut.
  5. Al-Mas’udi. 1989. Murudz al-Dzahab. Darul Fikr. Bairut.
  6. Rahman, Fazlur.2003. Islam. Penerbit Pustaka. Bandung.
Artikel ini telah dibaca 140 kali

Baca Lainnya

Merebut Suara NU di Pilwalkot Bandung 2024

3 Oktober 2024 - 05:30 WIB

Integritas Pebisnis

12 September 2024 - 07:07 WIB

Pentingnya Memakmurkan Masjid

6 September 2024 - 05:25 WIB

Menjadi Masyarakat Pengkritik dan Pengontrol Parlemen

8 Agustus 2024 - 13:49 WIB

Hijrah, Kritik Atas Doktrin Kelompok Jihadis dan Prinsip Kebebasan

8 Juli 2024 - 09:27 WIB

Menyambut Tahun Baru Islam dan Menafsirkan Kembali Semangat Hijrah Nabi

7 Juli 2024 - 07:23 WIB

Trending di Beja+