berebeja.com – Sebanyak 4 (empat) negara menghapus Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia. Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo mengatakan bahwa empat negara tersebut menghapus utang RI melalui skema konversi atau debt swap.
“Jerman, Italia, Amerika Serikat, dan Australia menghapuskan utang LN Indonesia sebesar USD 334,94 juta atau setara 5 Triliun Rupiah,” cuitnya di akun Twitter @prastow miliknya, Senin (17/10).
Dalam pengelolaan pembiayaan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktrorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) melakukan pemantauan terhadap realisasi dan aspek keuangan atas kredit yang dilakukan oleh pemerintah, salah satunya melalui restrukturisasi kredit yang berpedoman pada PMK 224 Tahun 2011 Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi atas Pinjaman dan Hibah kepada Pemerintah.
Restrukturisasi kredit adalah reorganisasi kredit yang melibatkan pemberi dan penerima untuk mengubah persyaratan yang telah disepakati dalam rangka membayar kembali kredit dengan skema rescheduling, refinancing, debt forgiveness, debt conversion, atau prepayment.
Sebanyak 5 Triliun rupiah tersebut merupakan hasil restrukturisasi. Adapun konversi utang yang disepakati adalah dalam bentuk program atau proyek yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah RI.
“Proyeknya bermacam-macam. Dari kreditur Jerman untuk proyek pendidikan, edukasi, dan kesehatan, AS untuk tropical forest, dan debt swap dengan kreditur Italia untuk proyek housing and settlement,” jelasnya.
Prastowo juga menjabarkan total komitmen debt swap yang disepakati dengan kreditor bilateral adalah USD 334,94 juta dan terealisasi USD 290,51 hingga per 30 September 2022. Hal ini merupakan capaian yang cukup bagus dan menunjukkan mutual trust yang tinggi.
Selain itu, Pemerintah juga berkontribusi melaksanakan kegiatan tersebut dengan nilai USD 215,35 juta untuk meneguhkan komitmen dengan sungguh-sungguh.
“Jadi jelas penghapusan utang ini memang akibat konsekuensi, namun konsekuensi yang baik. Sejalan dengan semangat PBB: digunakan membayar utang, lebih baik uangnya dipakai untuk berinvestasi dalam ketahanan iklim, infrastruktur berkelanjutan, dan transisi perekonomian,” tutur Prastowo.
Prastowo juga menyampaikan posisi utang Indonesia, bahwa disiplin pajak tetap dijalankan Pemerintah dan komposisi utang tetap dijaga di bawah batas maksimal 60% terhadap PDB dan dipastikan semuanya transparan.
Kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) didominasi oleh Perbankan diikuti BI, sementara kepemilikan investor asing terus menurun dari 38,57% (2019) menjadi 19,05% (2021) dan terakhir berada di angka 14,7% pada 22 September 2022. Selain itu, sebanyak 71,06% utang Pemerintah didominasi oleh mata uang domestik, yakni rupiah.
“Hal tersebut upaya pemerintah yang konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung didukung likuiditas domestik. Meski demikian, dampak normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju terhadap pasar SBN tetap perlu diwapadai,” katanya.
Dia juga mengatakan bahwa saat ini pemerintah telah berhutang LN kepada Dana Moneter Internasional atau IMF pada Oktober 2006. Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI), Indonesia masih memiliki utang kepada IMF sebesar USD 8.475 miliar per Juli 2022, namun itu adalah utang luar negeri negeri Bank Sentral (BI) berupa alokasi Special Drawing Rights (SDR).
SDR adalah instrument yang dikembangkan oleh IMF pada tahun 1989, merupakan aset cadangan devisa suatu negara. SDR juga bekerja sebagai unit rekening IMF dan beberapa organisasi internasional lainnya. Nilai SDR dihitung berdasarkan komposit mata uang internasional utama (Euro, Poundsterling, Yen, Dolar AS, Renminbi) berdasarkan rasio tertentu. Ini merupakan regulasi internasional yang standar dan diterapkan sama ke semua negara anggota IMF.
Saat IMF mengalokasikan SDR, negara anggota akan menerima likuiditas dalam bentuk cadangan devisa (SDR holding) yang sekaligus menambah kewajiban jangka panjangnya (SDR allocation) dalam jumlah yang sama. Alokasi SDR termasuk ke dalam kewajiban jangka panjang yang pembayaran kembalinya akan terjadi apabila negara anggota memutuskan keluar dari keanggotaan IMF atau terjadi likuidasi dari Departemen SDR-IMF.
“Arah APBN adalah utang yang dikelola lebih efisien sejalan dengan penurunan defisit dan pemanfaatan SAL. Pengelolaan utang yang prudent, didukung peningkatan pendapatan negara dan kualitas belanja yang lebih baik adalah bentuk komitmen pemerintah dalam menyehatkan APBN,” kata Prastowo lagi.
“Tantangan ke depan akan semakin berat karena krisis pangan dan energi menjadi batu sandungan lain yang perlu diwaspadai setelah pandemi berlalu sehingga disiplin fiskal terutama pengelolaan keuangan akan terus dijaga agar ekonomi terus berjalan. Semoga.” tandasnya.***