Bandung, berebeja.com – Beberapa bulan lalu Masjid Raya Al-Jabbar resmi beroperasi sebagai ikonik baru masjid di Jawa Barat, diresmikan langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Pembangunan masjid tersebut menelan dana APBD cukup besar, mencapai 1 triliun rupiah, bahkan menurut hasil penelusuran pegiat anti korupsi di Jawa Barat mencapai 1,6 triliun.
Besaran biaya pembangunan masjid tersebut jadi polemik di tengah masyarakat Jawa Barat, bahkan tak sedikit sejumlah tokoh nasional banyak menyoroti hal tersebut. Kemegahan Masjid Al-Jabbar di atas luas lahan 25 hektare ( keseluruhan luas lahan 21.799.20 meter persegi) tersebut, bisa menampung jamaah sekitar 33 ribu jama’ah, perpaduan gaya arsitek modern dengan gaya kemegahan karakteristik Ustmani sangat terlihat jelas unsur-unsur elemen kemegahan di dalam masjid tersebut.
Ridwan Kamil menyebut Masjid Raya Al-Jabbar merupakan tonggak peradaban Islam di Jawa Barat, alih- alih mendirikan sebuah peradaban lewat kemegahan bangunan tempat ibadah, masyarakat Jawa Barat yang berada di sekitar masjid atau masyarakat terjauh dari kemegahan masjid itu, tak berbanding simetris dari peradaban yang disebut Gubernur tersebut, bahkan pada titik ekstrim keberadaan tempat ibadah yang megah hanya bisa melahirkan kelas sosial baru, bukan peradaban Islam yang valid.
Karena, bagi penulis peradaban harusnya tegak suatu keadaban di tengah semua lapisan masyarakat, terutama di tengah rakyat-rakyat jelata. Yaitu tegaknya keadaban pemimpin atau keadaban pemimpin bagi rakyatnya. Keadaban pemimpin adalah menegakkan keadilan, keadaban bagi rakyat ialah mengisi isi kepala rakyat secara intelektual, dan memenuhi isi perutnya untuk kesejahteraan.
Jika kita menelisik laporan para sarjana muslim klasik, sejarah nabi Muhammad Saw, dibuktikan sejak awal peradaban untuk ummatnya, ialah beliau menegakkan keadilan dan pembelaannya terhadap orang-orang tertindas, juga pembelaan beliau terhadap kelompok minoritas yang dicerminkan dalam piagam Madinah.
Oleh karenanya, pada pase pertama Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya, tidak mendahulukan pembangunan masjid dalam menegakkan peradaban Islam di Mekah, tapi memfokuskan pada isi kepala ummat secara intelektual dan kemakmuran bagi ummatnya. Mendirikian Masjid baru terjadi setelah Nabi Hijrah, tak ada motivasi lain kecuali motivasi ketakwaan kepada Allah (Usisu li taqwa), didirikannya pun sangat sederhana, karena hal itu bukan prioritas utama. Ini merupakan teori yang amat mendasar dalam quran, yaitu “Iqra”/ “baca” membaca menjadi kohesi dengan pikiran agar bisa mencerna ajaran tuhan. Alhasil pendidikan dan kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang amat fundamental dalam sebuah peradaban apa pun.
Oleh karena itu, kalau kita merujuk pada literatur-literatur sarjana muslim klasik, apa yang terjadi di Mekah maupun Madinah tidak menemukan peradaban Islam yang menonjol, jika di bandingkan pada periode setalah 200 dan 500 tahun setelah Nabi Muhammad Saw wafat, sebut saja peradaban Islam di Baghdad dan Peradaban Islam yang megah di Andalusia, pada dua kota tersebut melahirkan para pemikir-pemikir besar muslim yang tersohor di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Bahkan di Andalusia, kini Spanyol itu, pada abad modern banyak ditemukan peninggalan peradaban Islam, tercermin ada bangunan-bangunan mewah dan masjid-masjid megah seperti Al-Hambra atau Madinat Zahra bekas peninggalan Istana kekuasaan Islam di Eropa. Akan tetapi kemegahan bangunan dan masjid di Andalusia itu, Intelektual dan kesejahteraan sebelumnya mengiringi peradaban Islam di Eropa tersebut, pun demikian peradaban modern di Negara-Negara seperti Amerika, Eropa dan China, ilmu pengetahuan dan kesejahteraan melaluinya terlebih dahulu bukan bangunannya.
Retorika yang mengatakan Masjid Raya Al-Jabbar sebagai formula awal peradaban Islam di Jawa Barat itu “NOL BESAR” tanpa pemenuhan isi kepala dan perut rakyatnya. Dalam filsafat bahasa, retorika yang disampaikan tersebut, hanya disebut sebagai ujaran tak memiliki makna dari seorang pemimpin, atau disebut retorika abstrak.
Menurut sejumlah filsuf klasik, ada dua jenis penuturan; ada ujaran yang memiliki argumentasi (dalil) yang kokoh, ini disebut ujaran yang memiliki arti atau makna jelas (dzahir), dan kedua ada retorika yang abstrak, suatu retorika yang rapuh pondasi dalilnya, bahkan retorika abstrak ini ada yang menyebut sebagai retorika sumir, Ibnu Hazm dalam kitab al-Taqrib li Had al-Mantiq menyebutnya “la ya’qilu au annahu maridh” / retorika orang yang tak logis dan cacat nalar.
Ridwan Kamil dan Absennya Etika Politik
Ketika tahun 2013 Ridwan Kamil (RK) terpilih menjadi Wali Kota tiket politik secara formal diusung Partai Gerindra dan PKS mengajukan Oded M Danial (alm) sebagai wakil RK di Pilwalkot Bandung 2013. Sebelumnya RK membentuk relawan yang militansi dengan basis massa yang terukur dan terarah karena secara logistik pribadi, ia memilki cukup untuk meraih election di Kota Bandung, namun sebesar atau semilitan apapun relawan yang dibentuk, sangat tak mungkin bisa meraih kekuasaan kalau tidak lewat mekanisme Partai, memang demikian keniscayaannya di alam demokrasi era reformasi ini.
Di hadapan para relawan waktu itu, ia sampaikan merasa lega karena Gerindra Partai besutan Prabowo tersebut, memberi tiket pada RK untuk maju di Pilwalkot Bandung, koalisi dengan PKS juga 23 partai non parlemen. Pada waktu itu sebetulnya RK secara psikologi politik, ia lebih cenderung ingin diusung oleh PDIP, sebuah partai yang dia kagumi waktu itu, karena kekaguman RK terhadap ayah Megawari, yaitu Ir. Soekarno. Namun, PDIP lebih memilih mengusung kadernya sendiri yaitu Ayi Vivananda, waktu itu Ayi sebagai incumbent.
Lewat tiket politik Gerindra dan PKS inilah, RK memenangkan electoral di Pilwakot Bandung, mengantarkan RK menjadi orang nomor satu Kota Bandung di tahun 2013. Tak salah jika orang berseloroh “ RK bukan siapa-siapa jika tidak ada Prabowo dan Gerindra,” namun selanjutnya sangat ironi pada saat itu RK menjadi Wali Kota Bandung tidak memberi dampak signifikan electoral bagi Partai Gerindra di Kota kembang tersebut. Bahkan Partai Gerindra tidak banyak mewarnai kebijakan politik Wali Kota-bahkan Gerindra bisa disebut nilih untuk mewarnai kebijakan-kebijakan RK.
Kekuasaan di Kota Bandung, ia jalankan kekuasaan politik tersebut seperti meniru tokoh politik par excellence Italia, Machiavelli, dengan brutal melakukan retorika obral janji dan seperti melakukan kebijakan sekehendak apa yang dimau sendiri, serta pada titik tertentu banyak yang menyebut, RK melakukan penghianatan pada Partai yang pernah mengusung dirinya, dan sangat buruk secara etika politik. Oleh karena itu Gerindra sangat menyesal dan bahkan sakit hati. Meski demikian sepertinya Partai Gerindra kapok untuk mengusung pemimpin daerah kalau bukan dari kadernya sendiri.
Memang dalam dua dasawarsa sejak era reformasi, partai-partai politik tak banyak melahirkan kader-kader partai menjadi daya tarik publik, ini adalah suatu kemunduran demokrasi jika popularitas dan elektabilitas hanya disematkan pada tokoh-tokoh di luar partai. Sehingga apa yang terjadi, merosotnya norma dalam kehidupan politik kita, etika politik sangat penting dalam menjalankan kebijakan politik di alam demokrasi.
Jika mau melihat para tokoh politik dunia mereka sangat menjunjung tinggi etika politik, sebut saja Liz Truss seorang tokoh politik Partai Konservatif di Inggris yang beberapa bulan lalu memundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri dengan waktu yang singkat ia menjabat, karena ia tidak bisa mengatasi problem ekonomi di negaranya, sebelum memundurkan diri, ia menghadap berkomunikasi kepada kerajaan sebagai kesepuhan, bahwa dia sudah tidak mampu menjalankan pemerintahan, juga ia berkomunikasi dengan para pimpinan Partai Konservatif yang mengusung dia sebagai perdana menteri, untuk meletakkan jabatan tersebut agar ia bisa digantikan yang lebih mampu dari dirinya, mencari kader terbaik dari Partai Konservatif, bukan di luar Partainya.
Jika melihat hari apa yang terjadi pada para pemimpin di daerah khusunya, ini menjadi keprihatinan kita, bahwa kekuasaan saat ini cenderung angkuh jika sudah diraih, bila sudah menjadi pemimpin suka menganggap dirinya itu sebagai tuan untuk orang lain dan suka berasumsi bahwa yang lain di luar dirinya hanyalah sebagai budak, padahal pemimpin yang hebat, harus menganggap dirinya itu hanya sebagai budak dari rakyatnya.
Secara prinsip memang benar, kita bisa melakukan kebijakan politik sekehendak kita, karena kehendak bebas adalah dasar alamiah manusia, pemimpin bebas menentukan bentuk kebijakan apa pun yang dipikirkan isi kepalanya, tetapi ada kewajiban etik untuk membentuk masyarakat politik dan tunduk pada tuntutan yang masuk akal untuk kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau ambisi keinginan profesi sendiri.
Etika politik bertujuan untuk memperteguh prinsip-prinsip moral yang digunakan untuk mengatur politik yang benar dalam masyarakat politik, dengan cara bertanggungjawab seorang pemimpin memiliki etika terhadap tindakan politiknya, tidak asal mengobral janji maupun mengumbar retorika yang sumir yang di muntahkan dari mulutnya terutama beretorika kepada pimpinan partai dan partai yang pernah mengusungnya serta jangan menelantarkan rakyatnya sendiri.
Semoga kedepan, kita bisa melahirkan pemimpin yang tidak meruntuhkan etika politik. Terlebih tahun politik seperti saat ini, harus dijadikan momentum penting untuk bisa melahirkan pemimpin politik yang memiliki etika politik tinggi, terutama yang dilahirkan dari kader partainya sendiri, bukan tokoh di luar kader, hal tersebut tak lain demi iklim demokrasi kita yang sehat, sehingga mampu memilih figur-figur kepala daerah dipercaya publik yang lahir dari rahim kader partai politik.[]
Penulis : Raden A.S Zarkasih, S.Kom., M.Kom, Akademisi NU dan Ketua Dewan Pembina PC GMPK Kota Bandung.