BANDUNG, berebeja.com – Dewasa ini, terlebih di era pandemi sudah jarang dijumpai masyarakat yang berlalu-lalang di jalan. Bila kilas balik ke masa dimana dunia masih berjalan normal, orang-orang lebih menyukai cara instan dan praktis dalam menikmati perjalanan. Padahal pembangunan sudah gencar dilaksanakan, area pedestrian pun sudah apik dan nyaman untuk para pejalan kaki. Namun, apa yang menyebabkan trotoar masih tetap mati?
Pernah ada masa dimana kota-kota di Indonesia ramai oleh pejalan kaki karena area pedestrian layaknya ikon kota dan menjadi ranah publik yang tepat untuk bersosialisasi. Model bangunan infrastruktur ini merupakan salah satu alasan yang menunjang masyarakat untuk melakukan interaksi. Itulah yang dinamakan Extended Arcade.
(Sumber: Skycraper Page)
Menurut Wikipedia, “Arcade” has become a general word for a group of shops in a single building, regardless of the architectural form. Artinya, Arkade adalah kata umum untuk sekelompok toko dalam satu bangunan, terlepas dari bentuk arsitekturnya. Model Arkade dirancang agar jalur pejalan kaki nyaman, terhindar dari panas dan hujan, serta vibran dengan fasilitas di pusat kota. Sedangkan arti Extended bila diterjemahkan ke dalam bahasa berarti memanjang.
Model pembangunan tersebut masih eksis hingga sekitar tahun 1960-an sebelum akhirnya cara menilik masyarakat terhadap pembangunan berubah menjadi tentang bagaimana cara memfasilitasi kendaraan. Zaman yang semakin maju membuat masyarakat memiliki perasaan tidak mau tertinggal. Ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan mengakibatkan kota menjadi haus lahan parkir sehingga perlahan-lahan akses pejalan kaki menghilang.
Bila menilik dari segi konstruksi bangunan, Extented Arcade adalah langgam arsitektur zaman Kolonial Belanda. Namun sayang, pembangunan proyek yang belum sepenuhnya rampung harus mendadak buntung karena Jepang datang dan membabat habis negara.
Bandung merupakan salah satu kota yang gencar melaksanakan pembangunan, contohnya membangun kawasan pedestrian berupa jalan layang di Cihampelas. Rupanya pembangunan tersebut tidak sepenuhnya memperbaiki kualitas pedestrian karena tidak koheren dengan kawasan, tidak aksesibel, tidak terawat dan sepi karena tidak adanya sesuatu yang “menarik” untuk dapat membangun sebuah interaksi masyarakat serta mendatangkan pengunjung terutama pejalan kaki.
Jalur pedestrian kontemporer dapat kembali menjadi menarik bila ada banyak hal yang memvalidasi perasaan pejalan kaki untuk menikmati infrastruktur. Memperhatikan keamanan, perawatan yang baik, serta fasilitas memadai dan ramah difabel bisa menjadi rumusan awal. Selain itu, kontribusi masyarakat dalam menjaga dan merawat fasilitas umum di ruang publik pula diperlukan untuk menambah poin ekstra untuk mencapai tujuan.
Editor. Asma Mutie