Senin 5 Agustus 2024 berjumlah 50 Angota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota Bandung megucapkan sumpah jabatan mereka dan ada 3 orang Anggota berstatus sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Setiap anggota DPRD sudah tentu mereka piawai dalam berpolitik, akan tetapi selain itu juga harus menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, teknis pengawasan, penyusunan anggaran, dan sejenisnya.
Tentu kita berharap terhadap para anggota DPRD yang kemaren baru saja dilantik, mereka benar-benar mampu berperanan dalam arti mampu menggunakan hak-haknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional, karena selain mereka bertanggungjawab pada konstituinnya juga punya tanggungjawab moral dan akuntabelitas terhadap warga Kota Bandung secara umum.
Anggota DPRD itu selain mereka memiliki 3 fungsi pokok (Pembentukan Peraturan Daerah, Anggaran, Pengawasan) yang harus dijalankan para senator di daerah itu, paling utama adalah menampung dan menyampaikan aspirasi untuk diimplementasikan secara benar.
Karena pemerintahan daerah yang baik (good local governance) kata Guru Besar UNPAD Prof. H.A. Kartiwa dalam satu makalahnya menjelaskan bahwa hal ini merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan tata laksana publik dewasa ini, bahwa tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik harus satu arah dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari “rulling government” yang terus bergerak menuju “good governance” dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil.
Maka dalam hal ini keadilan menjadi sublim dalam sebuah intstitusi formal maupun pada ruang publik. Jika merujuk pada pandangan John Rawls, subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, lebih tepatnya, bagaimana institusi, lembaga sosial, atau komunitas sosial mendistribuiskan hak dan kewajiban mendasar serta kemaslahatan dari kerja kolaborasi sosial. (John Rawls,2011).
Karena itu anggota DPRD, Pemerintah dan Publik dalam satu komunitas yang sama mereka memiliki visi yang sama dengan membentuk kolaborasi yang lurus dan baik di dasari pada prinsip keadilan.
Bahkan keadilan jadi prinsip dasar dalam konsep pemerintahan dan kepemimpinan dalam sistem politik Islam sebagaimana diteorikan oleh salah satu pemikir muslim klasik pengikut teolog Al-‘Asy’ari yang bermazhab Syafi’i, sebut saja Imam Al-Mawardi.
Keadilan yang dimaksud disini adalah tegaknya institusi DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan harapan masyarakat di Kota Bandung, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan-aturan yang berlaku terlebih menjauhkan aspirasi-aspirasi publik.
Bahkan lebih parah lagi tak sedikit oknum anggota DPRD malah melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran dan aturan agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan pada masyarakat. (Bandingkan dengan tulisan yang diuraian H.A. Kartiwa).
Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi.
Tentu hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.
Meski maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat terhadap supremasi hukum di negara kita. Elite politik yang seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat. Bukan justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif yang dilakukan oleh elite politik terutama anggota DPRD ini. (Lihat Makalah H.A.Kartiwa,).
Masyarakat Sipil Penjewer
Lalu Siapa yang harus mengawasi kinerja Anggota Dewan yang terhormat itu ? Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) adalah lembaga politik. Keberadaan mereka ada karena ada rakyat yang memilih. Oleh karena itu, relasi DPR/DPRD dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik. Rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada mereka. Institusi parlemen selanjutnya melaksanakan kekuasaan rakyat itu.
Karena kekuasaan dalam sepanjang sejarahnya memiliki kecenderungan korup dan menyimpang, maka rakyat perlu mengontrol lemabaga dan Anggota DPR/DPRD, baik secara individu maupun secara kolektif. Rakyat jugalah yang akan meminta pertanggungjawaban DPR/DPRD untuk menentukan apakah akan diberi mandat kembali atau tidak untuk masa jabatan berikutnya.
Suara rakyat kepada Lembaga dan anggota DPR/DPRD adalah suara pemberi kekuasaan kepada yang bertugas melaksanakan kekuasaan itu, bukan suara untuk menghinakan atau bahkan bukan untuk merendahkan para pejabat parlemen.
Relasi DPR/DPRD dengan rakyat adalah hubungan politik. Namun, DPR/DPRD menggunakan pendekatan legalistik di Lembaga terhormat itu. Oleh karena itu, disini kekuatan masyarakat sipil harus terbangun secara logis dan kritis terhadap untuk mengontrol kinerja parlemen.
Menurut sejumlah pakar kelompok sipil kritis adalah warga negara yang peduli terhadap kemerdekaan, martabat, dan prinsip etika. Memiliki perhatian untuk menyuarakan hak dan menjalankan kewajibannya dalam menegakkan kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Prinsipnya menjadi responsible warga dengan bahasa kerennya critical thinking and ethical society dalam konteks menghadapi situasi atau sistem kekuasaan yang oligarkis, dan nir-etik seperti terlihat terjadi sekarang ini.
Para ilmuan sosial merumuskan tentang masyarakat sipil atau juga disebut masyarakat madani, memuat arti masyarakat beradab adalah arena warga yang aktif menjalankan politiknya, melakukan regulasi sebagaimana yang dilakukan dengan kekuasaan. Karena memuat pengertian masyarakat beradab (civilezed) yang menata aturan-aturan berdasarkan sistem hukum, bukan atas dasar kekuasaan seorang despot. (Willam Outhwaite,2008).
Maka relasi negara dan publik harus terhubung membetuk bagian dari satu perkumpulan masyarakat dengan menjalankan tujuan-tujuan program negara maupun masyarakat sipil, membentuk perkumpulan-perkumpulan, atau kominutas yang berlandaskan hukum-hukum yang berlaku.
Meski menurut pandangan Adam Smith, Adam Ferguson, John Locke, dan Tom Paine, menyebutkan bahwa negara dan masyarakat sipil ada ruang perbedaan dari negara dan memiliki bentuk serta prinsip tersendiri. (Willam Outhwaite,2008).
Namun, pada prinsipnya negara merupakan kumpulan orang-orang yang rasional yang disatukan pada persetujuan bersama tentang tujuan kehidupan mereka. Hal sebagaimana digagas oleh St. Augustine. Bahwa menurutnya negara akan menjadi baik dan buruk tergantung pada maksud dan tujuan yang ingin dicapainya. (Henri J, Schmandt,2009).
Oleh karena itu masyarakat sipil pada dasarnya merupakan berada pada ruang etika yang berada diantara keluarga dan negara. Meski pada kenyataannya seringkali relasi ini menjadi absurd jika peran politik negara kotor, lalu menguasai dengan mengatur kekuasannya itu lebih despot terhadap kekuatan masyarakat, sehingga bisa terjadi pelemahan dan ketidak berdayaan masyarakat sipil, terutama terhadap masyarakat sipil rentan, mereka akan lebih terpuruk, terutama dari sisi ekonomi, atau terjadi ketidakadilan sosial dari institusi negara teradap warganya.
Maka dengan demikian peran masyarakat sipil dibutuhkan untuk mengontrol dan mengkritisi institusi negara dan parlemen. Mengontrol dan mengkritik institusi formal tentu berlandaskan rasionalitas dan empirisme, bukan didasarkan pada jalan emosional.
Mengutip pandangan Imam Al-Mawardi sangat menarik, bahwa ia sangat mencela hal-hal yang berhubungan dengan hawa nafsu (Dzamul al-Hawa) tapi ia menepatkan akal jadi peran utama dan penting dalam kehidupan kita di dunia ini, bagi Al-Mawardi akal merupakan sumber etika yag paling utama (Yanba’ul Adab), baginya rasionalitas sebagai fondasi agama dan penyangga dunia. ( Adab al-Dunya Waal-Din : 19).
Maka dengan demikian gerakan masyarakat sipil yang kritis, harus disarkan secara rasional. Mereka sudah tidak melihat lagi pada unsur kedekatan seseorang yang berada pada Lembaga yang patut dikontrol tersebut, tidak melihat factor kedekatan atau sesama kelompok keder, jika bengkok bersama kita luruskan. Dengan kekuatan dan daya kritis masyarakat sipil yang rasional secara tidak langsung membantu good governmentdan Lembaga DPRD mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat di daerah dengan benar.
Dengan demikian peran masyarakat sipil yang kritis seperti peran para ormas, jurnalis, dan gerakan masyarakat sipil sejenis, mereka memiliki daya dan kekuatan secara independensi di hadapan institusi negara, bukan melemahkan diri atas dasar kedekatan atau emosionalitas, tapi mereka berperan pada posisinya masing-masing tidak berdekat tidak pula menjauh tapi memiliki chek and balance bukan menjilat dan menghamba pada kekuatan kapitalisasi negara. Peran masyarakat sipil pada saat sekarang, kita berharap kelompok ormas, jurnalis dan sejenisnya pada posisi ini, jadi anotasi yang kuat jika berhadapan dengan isntitusi negara oligarkis dan nir-etis, bukan sebaliknya lembek dan lemah tak berdaya.***
Penulis WS Abdul Aziz, adalah sekretaris Forum Jurnalis Jabar.