Sejak hari itu ketika Kiai Wahab, (KH. Abdul Wahab Hasbullah) meninggalkan Kota Mekah kembali ke Indonesia, ia mendirikan Nahdlatul Wathan ( Kebangkitan Tanah Air) 1916, dan menjadi cikal bakal berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) 1926 dengan pimpinan tertinggi NU pertama adalah Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar.
Perjuangan terus-menerus dilakukan kedua tokoh tersebut. Kedua tokoh yang sederhana bisa dikata bahwa periode ini merupakan penyembunyian harus telah berakhir dan bahwa mereka harus menampakkan, dengan kesederhanaan dan bantuan para pengikutnya di pedesaan yang setia dan gagah berani, meletakkan dasar peradaban dengan kemuliaan organisasi umat Islam ini, dan membangun dasar peradaban jam’iyah (organisasi) dengan cara yang diinginkan Tuhan.
Pada saat ini, organisasi NU sudah berusia satu abad lebih dengan berbagai dinamika dan pergoalakannya, NU menjelma menjadi organisasi Islam tebesar di Indonesia dan dunia.
Yang menarik dari organisasi para Kiyai dan Santri ini, selain pesantren basis mereka selalu berada pada barisan kelompok kaum jelata, tidak seperti para kelompok priyai di perkotaan, mereka memilih kaum terdidik perkotaan menjadi kemewahan mereka.
Sedangkan barisan organisasi NU pengikut terbesar adalah para penduduk desa yang notabene kelompok mustadh’afin dari kalangan santri dan petani. Ini, menjadi kehebatan gerakan NU pada saat itu dan mungkin hingga sekarang, kemewahannya terletak atas pembelaannya terhadap orang-orang mustadh’afin.
Para muasis NU dahulu sadar betul dengan menjadi pelayan umat merupakan ajaran yang terpatri dari ajaran nabi yang diinginkan Tuhan. Nabi Muhammad sejak tiba di Kota Madinah, beliau pertama kali tak mendirikan istana yang megah, tidak seperti di sebalah timur semenajung Arab, pada saat itu Raja Iran memiliki Istana yang mewah dan megah di mana ribuan budak wanita, dan ribuan orang dan pelayan yang diperbudak, telah ditunjuk untuk melakukan seremonial mereka. Di utara Arab, juga, Haraclitus manjadi rezim menakutkan dengan kerajaan yang mewah.
Akan tetapi mengenai Nabi Muhammad SAW begitu beliau berada di Kota Madinah membangun sebuah Masjid dan rumah sederhana di sampingnya. Sampai akhir masa hidupnya ia menjadi pelayan ummat, pintu rumahnya pun selalu terbuka bagi siapa saja yang datang menghampirinya. Sejak kekuasaan Islam didirikan di seluruh Arab, nabi tak mengubah gaya hidupnya, beliau lebih banyak berkhidmat untuk umat dari pada memperkaya dirinya.
Demikina pula para muasis NU dalam sepanjang sejarah mereka dahulu banyak melayani umat dari pada diri dan keluargannya. Oleh karena itu formula awal Khitah 1926 selain meningkatkan relasi dari berbagai ulama Ahlusunnah, meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan kesesuaian dengan ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah, mendakwakan Islam berdasarkan Mazhab yang empat, juga mendakwahkan ajaran teologi Asy’ari dan Maturidi, menjalankan doktrin tasawuf Abu Hamid Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Para pendiri NU merumuskan untuk melayani umat (Ri’ayatul Umat) dengan mendirikan Madrasah, Pondok Pesantren, tempat ibadah, Sekolah, mengurus anak yatim dan fakir miskin, juga membentuk wadah perekonomian lewat pertanian, perdagangan dan industri halal menurut ajaran Islam.
Dengan demikian sangat lah jelas tujuan terpenting Khittah NU itu, semacam titah bagi para pengikut dan pengurusnya untuk fokus menjadi pelayan umat, bukan sebaliknya, hanya ingin dilayani.
Maka, bagi para pengurus pada saat sekarang, hendaknya ada tujuan sebagaimana para pendiri NU dahulu lakukan, menjadi pelayan umat. Pengurus pada zaman ini, jangan abai untuk selalu bersentuhan dengan kelompok fakir-miskin, dan tidak boleh memandang diakibatkan strata kelas sosial dalam aspek apapun. Karena kita tahu orang-orang mustadh’afin merupakan barisan paling banyak berada di belakang jam’iyah NU.
Metode kekuasaannya pun pada saat sekarang harus dibangun atas dasar kesetaraan kelas. Kita dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa organisasi NU telah muncul sudah lama, antara dua basis, yaitu kaum santri dan kelompok tani, di mana tidak ada perbedaan antara mereka, membangun basis metode berdasarkan ajaran yang diinginkan Tuhan. Bukan kekuasaan yang didapat atau dihasilakan dari menindas, memfitnah, mendzalimi, mengintimidasi, curang, riswah, atau memandang manusia atas dasar strata sosial, dan jenis prilaku bengkok lainnya.
Gerakan jam’iyah NU, meski merupakan komando para kiyai, akan tetapi relasi santri dan masyarakat bawah, semua berdiri dalam satu peringkat di depan pintu Tuhan dan keadilan. Bila jam’iyah dijalankan dengan perampasan dan manuver politik yang jauh dari tuntunan Tuhan dan batu bata pertama diletakan pada dinding kepengurusan lumpur yang kotor, lalu diletakkan dengan bata yang bengkok dan noda, tentu para muasisnya akan murka.
Bangunan jam’iyah harus di dasarkan pada prinsip-prinsip yang ditetapkan Islam, selain harus memiliki kopetensi di bidangnya masing-masing, dan produktif, tentu memiliki ajaran aksetis, kesetaraan, dan distribusi kekayaan yang adil dan transparan, ini jadi landasan penting dalam membangun institusi umat berdasarkan keinginan Tuhan.
Landasan jam’iyah yang sudah dibangun para muasis dahuhu, jangan diganti dengan lumpur kekuasaan atas dasar kroni dan pertimbngan pragmatis salah satu kelompok, akan tetapi harus berdasarkan atas dasar kemewahan ilmu dan kemaslahatan. Kemegahan tidak saja pada bentuk-bentuk material istana, namun harus tertanam dalam kilauan mutiara ketulusan dan pembelaan terhadap orang-orang yang lemah.
Upacara-upacara perjuangan dan ketulusan jam’iyah, tak boleh diubah menjadi istana raja, kesederhanaan jangan diubah jadi upacara seremoni indah para tuan, sementara orang lemah yang telah lama mengabdi hanya dijadikan budak, lalu dihempaskan dan dibuang tak tahu kemana dia pergi dan tidak tahu sekarang dia berada. Jika demikian, sama saja meruntuhkan infrastruktur perjuangan para muasis dahulu, dan sama saja meluluhlantahkkan bangunan Islam. Institusi umat bila dibangun dengan bengkok, hal itu bagaikan mengubah rumah lumpur Islam diubah menjadi bangunan istana keponggahan.
Kalau melihat dalam ilustarsi sudut pandang sahabat nabi yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari, ia merupakan orang keempat atau kelima yang bergabung dengan Islam, dan pedangnya paling efektif dalam membantu kemajuan gerakan Islam, jika melihat penyimpangan institusi umat semacam itu, menurutnya bagaikan rayap yang sedang menggerogoti kayu, dan prilaku mereka bagaikan sedang menggeregoti Islam.
Pada hari Sabtu, 2 Maret 2024 pengurus besok PC NU Kota Bandung akan dilantik secara resmi di Pondok Pesantren Nurul Iman Kota Bandung untuk mengukuhkan kepengurusan terpilih periode 2024-2029. Dalam masa kepengurusan yang baru kita berharap para pengurus NU yang baru, senantiasa diberi petunjuk Allah SWT, dan menjalankan roda kepengurusan dengan baik, juga tidak lupa selalu menjalankan amanat para muasis NU, dan selalu berada pada garda paling depan atas pembelaan terhadap kelompok mustadh’afin, juga senantiasa membangun jam’iyah Kota Bandung atas dasar ilmu dan kemaslahatan umat. Sukses!**
Penulis : WS Abdul Aziz ( Jurnalis dan Pegiat gerakan NU di Kota Bandung )