Bandung, berebeja.com – “Breaking Bad”, film terbaik yang saya tonton tahun ini. Film yang terdiri dari 62 episode ini berkisah tentang kehidupan Walter White (Bryan Cranston): seorang guru kimia di sebuah SMA. Di usianya yang tak lagi muda, dengan gaji seorang guru SMA, ia didiagnosis menderita kanker paru-paru.
Ini membuat ia merasa hancur. Ia tak punya cukup uang untuk membiayai terapinya. Belum lagi ia juga terbebani oleh konstruksi tentang figur seorang ayah: orang yang harus menafkahi semua kebutuhan keluarganya, termasuk menjamin masa depan anak-anaknya.
Di tengah kebimbangan antara pasrah begitu saja pada nasib atau bangkit untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, ia memilih yang kedua. Sebagai guru kimia dengan keahlian di atas rata-rata, ia tahu harus melakukan apa: menjadi peracik metamfetamina (yang di sini dikenal sebagai sabu-sabu).
Karena hanya tahu cara meracik tetapi tidak tahu cara menjualnya, maka ia pun mengajak mantan muridnya, Jesse Pinkman (Aaron Paul), yang seorang pecandu narkoba sebagai rekan kerjanya. Hasilnya luar biasa. Metamfetamina yang ia racik memiliki tingkat kemurnian sampai 99.1 persen, jauh di atas rata-rata metamfetamina yang beredar di pasaran. Ini membuat ia dicari-cari kartel narkoba yang beroperasi di wilayah New Mexico.
Dengan premis dasar seperti itu, film ini bergerak dengan setidaknya tiga lapis cerita utama: cerita tentang kehidupan keluarga Pak White, tentang produksi dan distribusi narkoba, dan tentang upaya DEA (BNN-nya Amerika Serikat) untuk mencari dan menangkap sang monster yang meracik metamfetamina terbaik di dunia.
Tiga lapis cerita itu digarap dengan sangat rapi, solid, dan detail yang nyaris tanpa celah sama sekali. Beberapa kisahnya pun juga didukung oleh riset ilmiah yang memadai (seperti cara melarutkan organ tubuh manusia dengan menggunakan asam hidrofluorik).
Dari cerita-cerita yang berlapis dan saling berkaitan itu, ada satu episode yang menarik perhatian saya, yaitu S:5/E:11 yang berjudul “Confession”. Di episode ini, Pak White sudah diketahui oleh saudara iparnya, yang merupakan kepala DEA, bahwa dialah monster yang dicari-cari itu.
Pak White merekam sebuah pengakuan yang kemudian ia berikan pada saudara iparnya. Dalam pengakuan itu, ia mengatakan bahwa ia menjadi peracik narkoba atas perintah saudara iparnya; dan seluruh cerita yang merupakan konsekuensi dari aktivitasnya sebagai peracik narkoba (seperti pembunuhan Gus Fring) adalah ulah saudara iparnya sendiri.
Cerita Pak White dalam pengakuannya itu, jika ditonton oleh anggota DEA yang lain, akan diterima sebagai penjelasan yang masuk akal atas semua peristiwa yang terjadi sejak ia mulai meracik narkoba. Tak akan ada kemusykilan sama sekali atas cerita itu, meski sebenarnya bukan cerita yang sebenarnya.
Ini menarik perhatian saya karena bisa dijadikan contoh yang sangat menarik untuk problem “ketaktertentuan teori/penjelasan oleh bukti” (underdetermination of theory by evidence) di dalam filsafat sains.
Mengingat terbatasnya bukti-bukti yang tersedia, maka kita tidak bisa menentukan teori atau penjelasan mana yang benar–bahkan teori atau penjelasan yang keliru pun juga bisa menjelaskan data-data yang ada sama baiknya dengan teori atau penjelasan yang benar.
Ketika menghadapi kasus ketaktertentuan teori oleh bukti semacam itu, para ilmuwan biasanya memilih teori tidak lagi berdasarkan pertimbangan empiris, tetapi berdasarkan pertimbangan non-empiris seperti kesederhanaan dan keindahan. Dalam konteks ini, para ilmuwan adalah juga seorang seniman. Itulah mengapa sains dan seni tak semestinya dipisahkan. ***
Penulis. Taufiqurrahman (Pegiat Filsafat Akal Budi)