CALIFORNIA, berebeja.com – Menag Yaqut Cholil Qoumas kembali menjadi trending di media sosial karena pernyataannya dianggap menyamakan suara azan dan gonggongan anjing ketika mensosialisasikan surat edaran Kementerian Agama yang bermaksud mengatur pemakaian toa di masjid dan mushola. Reaksi berbagai tokoh dan kalangan masyarakatpun menjadi semarak kembali, sampai lupa kita masih dalam suasana wabah Covid-19 dan Rusia menyerang Ukraina.
Sejak kecil di akhir tahun 1970an di Ciganjur, selatan Jakarta, dimana saya kenal hanya Muslim dan sebagian besarnya warga Betawi, saya terbiasa mendengar suara azan, termasuk azan kakek saya (almarhum), khususnya pada waktu sholat. Saya pun belajar azan dan sering melantunkan azan, dengan melodi yang lumayan. Tidak terpikir waktu itu suara azan saya akan mengganggu orang lain, tidak terpikir apakah ada warga non-Muslim yang akan terganggu dengan suara azan yang mereka tidak pahami artinya. Ayah saya (almarhum) pun seorang qari dan ustadz yang juga sering azan juga, selain imam dan khatib.
Toa adalah hal yang biasa dan menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Bukan hanya azan, tapi juga pengumuman-pengumuman yang dimulai Innalillahi wa inna ilaihi ketika ada warga Muslim yang wafat, atau sesekali ada pengumuman-pengumuman lain emergency terkait kehidupan di masyarakat. Di bulan Ramadan, suara-suara menjelang berbuka, sahur, dan bacaan Al-Qur’an kadang lived dan lebih sering rekaman. Bagi seorang Muslim, suasana ini suasana syahdu dan gembira.
Dalam perkembangannya, toa masjid tidak hanya keluar di waktu sholat, tapi juga waktu pengajian, suara bacaan Al-Quran, ceramah agama, yang waktunya lebih tergantung pengurus masjid dan mushola, dan hampir tidak ada survey atau cari tahu bagaimana sikap warga non-Muslim dan warga Muslim juga, yang majemuk . Bagaimana perasaan mereka, tidak pernah ditanya atau dicari tahu secara langsung. Bahkan tidak terpikirkan. Asumsinya, suara azan itu sakral dan indah, dan siapapun seharusnya merasakan hal yang sama. Suara azan adalah bagian dari syiar Islam. Tapi tidak dipikirkan, bagaimana suatu syiar ditanggapi mereka yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan bacaan dan suara-suara itu.
Termasuk, dalam banyak tempat, di sebuah kompleks dimana ada warga Kristianinya, dan ada beberapa mushola dan masjid, suara azan dan penggunaan toa dianggap biasa. Begitu pula, pengajian, bahkan sering juga pengajian hampir setiap hari dan minggu, ceramah-ceramah agama terdengar ke semua rumah baik Muslim dan non-Muslim. Belum ada penelitian bagaimana sikap warga non-Muslim terhadap suara Al-Quran, azan, dan ceramah agama yang keluar dari toa-toa ini. Mereka seolah menerima saja, toleran saja, karena tinggal di lingkungan dimana warga Muslim kebanyakan dan ada masjid-masjid di sekitarnya. Yang minoritas harus menerima kebiasaan mayoritas. Begitu asumsinya.
Selama ini saya tidak tahu darimana asal Toa. Ternyata toa adalah merek perusahaan pengeras suara dari Jepang. Toa adalah merek pengeras suara (amplifiers) Jepang. Bukan nama benda itu. Sama seperti Pepsoden itu merek odol, bukan odol. Atau Vespa untuk scooter. Dan toa muncul dan dibawa orang Belanda di tahun 1930an ketika mereka mulai memasang listrik di Hindia Belanda. Toa dibawa Belanda, dan diproduksi dan populer karena Jepang. Warga Muslim di seluruh Hindia Belanda dan di Indonesia pun menyebutnya toa terlepas dari suku bangsa dan bahasa mereka.
Tapi pengeras suara juga ada di semua negara, dengan merek yang berbeda. Ketika saya di Malaysia, di Singapura, lalu di Inggris, negara-negara Eropa dan sekarang di Amerika, hampir setiap masjid ada pengeras suara, tapi di negara-negara Barat dimana Muslim adalah minoritas, suara azan dilakukan hanya di dalam masjid ketika waktu sholat. Hampir tidak ada suara azan apalagi pengajian ke luar dari masjid atau pusat-pusat Islam di Amerika. (Ada beberapa kasus ketika mahasiswa Muslim melakukan azan dan sholat jamaah di halaman kampus sebagai bagian dari memperkenalkan Islam di kampus yang sangat majemuk dan belum tahu atau masih takut Islam, tapi ini sporadis dan bukan fenomena umum).
Di Indonesia, kementerian agama ‘merasa’ bertanggung jawab untuk mengatur kehidupan antar umat beragama, begitulah sejak 1946, yang memang kelanjutkan zaman kolonial juga, sebagai bagian dari kompromi politik dan konsensi kepada golongan yang ingin mendirikan Negara Islam. Dalam perkembangannya, banyak hal yang dilakukan kementerian agama, bukan hanya soal haji, tapi sekolah dan perguruan tinggi, dan kini juga soal toa masjid dan mushola.
Surat edaran itu, seperti saya baca dan dijelaskan juru bicara kemenag, bukan untuk melarang toa masjid, atau apalagi melarang azan. Tapi mengatur volume suara agar tidak terlalu kencang 100 dB maksimal, dan waktu yang bisa digunakan sebelum dan setelah azan.
Bagi banyak orang, termasuk banyak pengurus masjid di beberapa daerah yang memberikan tanggapan, surat edaran ini bisa dipahami, karena mereka menyaksikan banyak kasus intoleransi dan kekerasan akibat penggunaan toa yang tidak memperhatikan rasa nyaman dan ketertiban masyarakat yang majemuk. Bisa jadi aturan ini sebagai wujud perhatian kementerian agama pada keharmonisan antar umatberagama dan masyarakat. Tapi apakah sudah ada penelitian soal ini?
Yang tidak terpikirkan, apakah Kementerian Agama harus mengurus soal toa ini, sejauh mana fungsi Kemenag dalam konteks keberagamaan umat Islam dan umat-umat beragama lain termasuk penganut agama lokal dan kepercayaan yang banyak jumlahnya, sebagai warga yang setara. Bagaimana jika Kementerian Agama berfungsi koordinasi dan memfasilitasi saja, mengajak organisasi-organisasi dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memikirkan bersama-sama, sesuai dengan wilayah dan tempat di Indonesia, sikap dan aturan yang cocok bagi tempat-tempat itu, tanpa perlu homogenisasi atau sentralisasi. Ini pertanyaan-pertanyaan.
Di sisi lain, membaca berbagai reaksi yang pro dan kontra di media sosial, ada banyak hal yang juga tidak terpikirkan. Misalnya, tentang gonggongan anjing. Sikap merendahkan anjing dan gonggongannya memiliki akar keagamaan dan kebudayaan di mayoritas umat Islam. Anjing (berbeda dengan kucing) dianggap dan diperlakukan najis, begitu pemahaman mayoritas. Jika terkena liurnya, harus dibersihkan tanah tujuh kali. Tapi tidak terpikirkan, anjing juga ciptaan Allah, anjing juga hewan yang harus diperhatikan disayang, dan bahkan menjadi teman dan saudara manusia. Di kalangan ulama dan di banyak keluarga Muslim dulu dan sekarang pun, ada yang memiliki anjing dan tidak menganggap liur anjing sebagai najis. Dalam tradisi Islam, anjing tidak selalu dilihat secara negatif. Juga gonggongan anjing. Mengapa sedikit kita yang menganggap gonggongan itu alami. Anjing menggonggong itu bahasa anjing. Mereka tidak bicara seperti saya atau Anda, yang memiliki bahasa komunikasi dengan kata, yang bisa memperkeras atau mengecilkan suara bicara tergantung keinginan dan situasi.
Azan dan gonggongan itu sama-sama mulia: yang satu sakral, yang satu alami, dan setiap yang alami juga sakral dalam pandangan Islam. Persoalannya bukan pada karakter atau sifat azan yang sakral dan indah dan gonggongan anjing yang juga ciptaan Allah, tapi lebih pada aturan antar manusia, aturan sosial, aturan hidup bertetangga, aturan hidup yang saling menghormati dan membantu. Sejauh mana aturan sosial itu diperlukan, dan kapan dan dengan maksud apa. Sejauh mana suatu aturan melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait. Sejauh mana suatu kebijakan didasarkan pada pembacaan dan riset yang tepat pada kondisi nyata. Dan seterusnya.
Hal lain yang tidak terpikirkan adalah bahwa setiap kebijakan harus didahului dan didukung riset. Apakah sudah ada riset bagaimana sikap masyarakat yang beragam – Muslim dan non-Muslim – terhadap toa masjid sebagai syiar dan ritual agama di ruang publik. Apakah ada perbedaan sikap di tempat-tempat yang berbeda: kota dan desa, relatif homogen dan heterogen, dan aspek-aspek lainnya.
Di Saudi Arabia, pemerintah mengatur penggunaan pengeras suara masjid di seluruh negeri, agar hanya pada waktu azan (dan iqamah); bahkan dengan basis hadis Nabi. Di Indonesia, aturan sejenis sudah ada sejak zaman Pak Harto. Terakhir, Jusuf Kalla selaku ketua Dewan Masjid Indonesia juga mendukung aturan penggunaan toa masjid yang terlalu keras dan tanpa aturan waktu.
Di Indonesia, toa masjid dan mushola ini menjadi bukan sekedar toa, yang diproduksi Jepang. Umat Islam, termasuk banyak tokoh dan pejabatnya, masih lebih sering tertarik dengan simbol, identitas, dan aturan tentang simbol-simbol, serta pemakaiannya. Ketika orang lain berpikir dan melakukan riset bagaimana membuat produk, kita sibuk mengatur penggunaan produk. Ketika orang memproduksi kendaraan elektrik agar lebih ramah lingkungan, ketika orang lain memikirkan bagaimana nanti hijrah ke bulan, ketika orang lain meriset dan memproduksi alat-alat komunikasi dan teknologi, dengan kabel atau nirkabel dan Bluetooth, smartphone, aplikasi media sosial, yang semuanya itu umat Islam terbesar yang memakainya, kita masih terus terpaku dengan bagaimana kita memakai dan menyikapi produk-produk itu.
Tapi itulah kenyataan kita umat terbesar kedua di dunia ini: belum selesai berselisih, meskipun aturan agama dan etika jelas-jelas mengajak kita menahan diri dari prasangka buruk, untuk berpikir jernih dalam melihat setiap masalah, untuk melihat apa yang dikatakan dan dilakukan bukan melihat siapa orangnya, untuk meneliti sebelum membuat kebijakan, untuk berimajinasi, meneliti, dan membaca,menerawang dan menjelajah semesta yang tak terbatas. Adakah ajakan untuk memproduksi sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia, apapun agama dan bangsanya, bukan hanya sekedar cinta memakai dan mengatur penggunaannya? *****
Penulis. Prof. Muhamad Ali, Ph.D (Associate Professor University Of California, Riverside.)